Hari Kamis 24 Juni 2010 lalu, Perdana Menteri (PM) Australia, Kevin Rudd resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Rudd secara resmi digantikan Julia Gillard, salah satu deputi-nya di Australian Labor Party (ALP). Indikasi penurunan popularitas Rudd sebenarnya dimulai pada bulan Desember 2009 lalu, dimana Rudd di depan parlemen, tidak berhasil meloloskan Undang-undang Perdagangan Emisi Karbon dan menundanya untuk 2-3 tahun ke depan. Kegagalan ini masih ditambah dengan perseteruan Rudd dengan banyak perusahaan pertambangan di Australia sehubungan dengan rencananya menerapkan super-tax sebesar 40% terhadap profit perusahaan pertambangan yang ada.
Berbicara tentang beberapa kebijakan Rudd yang gagal terlaksana atau pun banyak ditentang sektor industri, menunjukkan banyak kalangan di Australia yang kurang menyadari akan adanya akumulasi struktur sosial yang sedang terjadi. Jika kita mengarahkan analisis ke beberapa kebijakan yang dikeluarkan Rudd, sebenarnya dapat dilihat bahwa kebijakannya diindikasikan dapat meredam beberapa pemicu adanya akumulasi struktur sosial. Dari perspektif ekonomi politik, akumulasi struktur sosial dapat terjadi karena beberapa kontradiksi sosial terjadi secara terstruktur dalam jangka waktu tertentu sehingga memicu adanya akumulasi perubahan dalam sistem sosial di masyarakat.
Kontradiksi dan Struktur Sosial
Secara spesifik, proses mundurnya Rudd dapat dikaitkan dengan beberapa analisis sederhana dalam perspektif akumulasi struktur sosial di atas. Untuk lebih mudahnya, kita melihat dari kebijakan Perdagangan Emisi Karbon yang tertunda, dari poin ini Rudd berusaha untuk menekan kontradiksi antara capital vs environment. Jika kebijakan ini berhasil, beberapa perusahaan industri pelaku polusi terbesar di Australia (khususnya di pertambangan) harus membayar pajak emisi yang tinggi. Namun akhirnya kebijakan ini ditolak parlemen dan harus ditunda. Nampaknya parlemen negeri kangguru ini mengabaikan adanya kontradiksi tersebut dan berpikir jangka pendek. Padahal pajak emisi yang masuk dapat menambah kas negara sekaligus mengurangi dampak emisi karbon.
Langkah Rudd yang kedua, menetapkan kebijakan super-tax sebesar 40% terhadap profit juga mendapatkan tentangan dari industri pertambangan. Nampaknya, Rudd sebenarnya berharap memperkuat sektor finansial dengan adanya pemasukan dari pajak. Krisis sektor finansial di negeri kangguru diprediksi juga karena adanya ketidakseimbangan antara sektor finansial dan industri. Dari sini, secara sederhana, dapat dibaca bahwa Rudd akan menekan kontradiksi antara finance vs industry. Kembali di sini, publik juga mengabaikan potensi perubahan struktur sosial akan terjadi. Bayangkan beberapa fenomena yang ada di Australia, tingkat upah buruh yang tinggi di sektor industri melebihi gaji pegawai atau bahkan tenaga edukatif. Akibatnya mulai banyak orang memilih bekerja menjadi buruh di sektor industri daripada di sektor lain. Pertimbangannya jelas, investasi pendidikan yang tidak perlu tinggi, namun dapat kesempatan bekerja dengan gaji lebih tinggi. Sebagai contoh sederhana, peminat untuk melanjutkan studi post-graduate (pascasarjana) lebih didominasi oleh orang asing, sementara warga negara setempat lebih memilih langsung bekerja pasca SMA (melalui TAFE training-setara D1) atau pun hanya cukup undergraduate (S1). Banyak juga terjadi eksodus antar sektor dan bahkan imigran asing yang akan bekerja sebagai buruh di sektor industri juga semakin banyak. Secara ideologis memang Rudd dikenal ”kiri” dan ”pro-labor”, namun dia tampaknya juga melihat ketimpangan antar sektor ini sehingga mengharuskannya membuat kebijakan yang ”mungkin tidak populer” di mata publik.
Gillard yang Konservatif
Dari kontradiksi struktur sosial, kita beralih untuk berbicara tentang prospek penggantinya yang agaknya dapat membuat pesimis ”para pemikir progresif”. Julia Gillard memang adalah kolega sekaligus deputi Rudd di ALP, tetapi beberapa langkahnya cenderung konservatif, terutama tentang hak buruh di tempat kerja dan masalah pengungsi. Baru 2 hari menjabat PM, sudah terjadi demonstrasi menentang Gillard, terutama terhadap kebijakan Gillard tentang pengungsi. Di samping itu, Gillard diprediksi juga akan ”berdamai” dengan sektor industri pertambangan sekaligus tetap menunda undang-undang emisi karbon. Namun naiknya Gillard juga diprediksi sebagai ”pencitraan kembali” ALP di mata publik untuk mendapatkan simpati pada saat pemilu nanti. Dia dianggap sebagai orang ALP yang bernuansa liberal dalam kebijakan luar negeri.
Simpulan sebuah catatan
Dari catatan ini, sebenarnya ada yang dapat kita transformasikan untuk melihat ke negeri kita Indonesia. Akumulasi struktur sosial yang terjadi mungkin disadari namun tampaknya masih menjadi sesuatu yang ”tidak penting untuk dibahas” karena lebih menyenangkan membahas hegemoni, interest dan capital. Memang hal ini adalah pilihan yang sangat manusiawi. Namun di balik itu, penulis memprediksi ada 4-5 tipe kontradiksi dalam akumulasi struktur sosial yang akan dan sedang terjadi di Indonesia. Jumlah yang cukup banyak untuk dianalisis bagi ”para pemikir mainstream”, tetapi suatu tantangan menarik bagi ”para pemikir progresif” untuk membahasnya dengan kritis. Semoga.
Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro
Penulis adalah Dosen FE UNS, Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)dan
Deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Saturday, June 26, 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)