Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia masih mengalami berbagai gangguan terhadap eksistensi dan kedaulatannya. Agresi militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947 memaksa bangsa Indonesia untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah 2 tahun diproklamasikan. Pertempuran antara Belanda melawan laskar dan tentara Indonesia yang tidak kunjung mereda telah memicu Amerika Serikat untuk melakukan intervensi. Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang memperoleh kemenangan pasca Perang Dunia (PD) II merasa bahwa Indonesia adalah wilayah strategis yang potensial untuk dimanfaatkan. Hal ini dapat dimengerti karena iklim politik pasca PD II mulai diwarnai Perang Dingin antara Amerika Serikat (blok Barat) dan Uni Soviet (blok Timur). Intervensi Amerika Serikat (AS) terhadap posisi Indonesia diwujudkan dalam prakarsa negara tersebut menyelenggarakan Perjanjian Renville. Sebuah perundingan di atas kapal USS Renville di teluk Jakarta pada 17 Januari 1948. Perundingan ini melibatkan beberapa negara lain, disamping tentunya Indonesia dan Belanda sebagai negara yang berseteru. Amerika Serikat memprakarsai pembentukan komisi yang berperan sebagai penengah, dimana komisi ini dikenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri dari Australia, Belgia dan Amerika Serikat sendiri.
Indonesia-Australia dalam Renville 1948
Delegasi Indonesia dalam perundingan Renville dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifoedin dan Wakil Ketua Ali Sastroamidjojo, dengan beberapa anggota antara lain Sutan Sahrir, Mr. Nasroen, Ir Djuanda dan Dr Tjoa Siek Ien. Indonesia memilih Australia sebagai rekanan dalam perundingan tersebut. Sementara itu delegasi Belanda dipimpin oleh oleh Abdulkadir Wiryoatmodjo dan wakil ketua H.K.L.F van Vredenburgh, lebih memilih negara tetangganya Belgia sebagai rekanan. AS yang bertindak sebagai negara penengah, lebih berperan sebagai pemimpin komisi perundingan. Frank Porter Graham sebagai ketua komisi yang berasal dari AS, sejak semula berusaha menekankan beberapa konsesi agar Indonesia bersikap lunak kepada Belanda. Dari poin ini, nampak bahwa AS berusaha menerapkan “the policy of containment” dalam rangka membendung pengaruh Blok Timur. Terlepas dari pengaruh politik AS dalam perjanjian Renville dan KTN, terdapat poin lain yang cukup menarik dimana Australia berperan sebagai rekanan Indonesia dalam perundingan tersebut. Hal ini menjadi terlihat tidak lazim karena notabene Australia adalah negara persemakmuran di bawah kolonisasi Inggris. Inggris selama PD II adalah salah satu sekutu AS yang cukup dekat. Kemudian muncul pertanyaan, “apakah berperannya Australia menjadi rekanan Indonesia dalam Renville hanya semata merupakan pengaruh eksternal AS?” “Ataukah memang ada pengaruh internal dari dalam negeri Australia sendiri ketika itu?”
Antara Australian Labor Party (ALP) dan Perjanjian Renville
Peranan Australia sebagai rekanan Indonesia dalam perundingan Renville sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh lobi eksternal dari AS, melainkan juga adanya peranan internal dari pemerintah Australia sendiri. Pada dekade 1940-an, pemerintah Australia didominasi oleh Partai Buruh Australia (Australian Labor Party/ALP) yang notabene juga dominan dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri negara tersebut. Sebenarnya arah kebijakan ALP juga tidak secara tegas akan langsung menjadi rekanan Indonesia pada saat Indonesia sedang mengalami konflik dengan Belanda. Para pimpinan ALP waktu itu lebih memilih “jalan aman” dengan mengikuti kebijakan AS yang dominan pasca PD II. Namun yang cukup penting untuk dicermati adalah adanya tekanan yang datang dari simpatisan partai (ALP) yang meminta agar ALP mempengaruhi pemerintah Australia secara umum untuk menjadi rekanan Indonesia dalam perundingan Renville. Memang tidak terdapat keterangan yang jelas tentang motif dibalik dorongan simpatisan ALP agar pemerintah Australia menjadi rekanan Indonesia. Beberapa hipotesa kemudian muncul, dimana pada saat yang sama Indonesia juga dipimpin Perdana Menteri Amir Syarifoedin yang notabene seorang sosialis. Hipotesa pertama ini memang diperkuat dengan adanya Sutan Sahrir dalam delegasi Indonesia. Sutan Sahrir meskipun memiliki aliran yang agak berbeda dengan Amir, namun pemikirannya juga berbasis pada sosialis. Di sisi lain, hipotesa pertama ini masih memiliki kelemahan karena secara umum peranan Australia kurang dapat dirasakan dalam hasil perjanjian Renville. Salah satu hasil perjanjian yang menyatakan bahwa Belanda hanya mengakui kedaulatan Indonesia di wilayah Sumatra, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dengan demikian justru wilayah kedaulatan Indonesia menjadi lebih sempit dari sebelumnya. Hasil ini pula yang menjatuhkan kredibilitas kabinet Amir Syarifoedin di depan parlemen dan di mata para pejuang kemerdekaan Indonesia ketika itu. Hipotesa lain yang muncul adalah motif pemerintah Australia untuk memerlukan Indonesia sebagai rekanan secara geo-politik dan geo-ekonomi. Posisi Indonesia yang berada di utara Australia memang berperan sebagai “barrier” geo-politik dalam menghadapi Perang Dingin. Di tambah lagi posisi Indonesia yang sangat potensial dari sudut pandang geo-ekonomi, mendorong Australia untuk memperkuat kerjasama internasional dengan Indonesia. Hipotesa kedua ini memang lebih logis dibandingkan dengan hipotesa yang pertama. Bahkan di era Orde Baru, Australia melakukan beberapa manuver yang lebih cenderung dapat dikatakan sebagai intervensi terutama dalam permasalahan Selat Timor dan bahkan dalam terlepasnya Timor-Timur dari wilayah Indonesia. Namun terlepas dari beberapa kasus tersebut, terdapat beberapa bukti menarik dari masyarakat Australia sendiri, yang justru lebih memperkuat hipotesa pertama.
Indonesian Calling: Ketika Buruh Australia Menolak Belanda
Bukti menarik yang memperkuat hipotesa pertama diperoleh dari sebuah film dokumenter Australia berjudul “Indonesian Calling” karya Joris Ivens. Film ini melakukan dokumentasi tentang beberapa bukti yang menunjukkan bahwa buruh Australia (yang notabene) adalah simpatisan ALP melakukan penolakan terhadap beberapa kapal Belanda yang kebetulan berlabuh di beberapa pelabuhan pantai barat (Western Australia). Kapal-kapal Belanda yang berisi amunisi dan senjata berlabuh dahulu di pantai barat Australia sebelum melakukan agresi ke Indonesia. Dalam film tersebut, dideskripsikan bahwa buruh-buruh pelabuhan (seamen and waterside workers) pantai barat Australia menolak kehadiran kapal-kapal Belanda tersebut. Film dokumenter ini nampaknya menjadi bukti adanya tekanan internal simpatisan ALP kepada pemerintah Australia (yang ketika didominasi ALP) agar besedia menjadi rekanan Indonesia di perundingan Renville. Bahkan di akhir film dokumenter itu terdapat kata-kata:…”in the name of Indonesian people, workers and labor in Australia refuse the Dutch ships….”.
Simpulan sebuah catatan
Simpulan dari catatan ini bukan akan membuat pernyataan tentang hipotesa mana yang benar terhadap peran Australia sebagai rekanan Indonesia dalam perjanjian Renville. Bukan juga untuk mengarahkan kepada kesimpulan bahwa Australia telah berjasa dalam politik luar negeri dan kemerdekaan Indonesia. Namun lebih pada telaah historis dan holistik tentang pergerakan buruh (sebagai sebuah causa) dapat menciptakan akumulasi yang berdampak pada hubungan diplomatik antar negara. Penulis mungkin belum melakukan observasi lebih lanjut tentang keterkaitan langsung para pejuang dan pemimpin Indonesia ketika itu dengan para pemimpin ALP. Memang menarik lebih lanjut untuk melakukan observasi tentang posisi geografis Indonesia yang terletak di antara dua negara persemakmuran Inggris, yaitu Australia di selatan dan Malaysia di utara. Malaysia yang notabene memiliki rumpun suku bangsa sama dengan Indonesia, justru relatif sering mengalami konflik dengan Indonesia. Apalagi presiden Soekarno ketika itu sampai mengeluarkan Dwikora dan memobilisasi pemuda-rakyat untuk melawan Malaysia. Di sisi lain, meskipun pernah mengalami hubungan yang memburuk akibat kasus Timor-Timur dan juga Bom Bali I dan II, ternyata rakyat (buruh dan pekerja) di Australia memiliki hubungan “emosional” dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia ketika itu. Sekali lagi, memang masih perlu observasi panjang dengan narasumber yang relevan untuk menguji hal tersebut. Namun gambaran umum tentang “panggilan” kemerdekaan Indonesia, perjanjian Renville dan akumulasi gerakan buruh di Australia dalam catatan sederhana ini setidaknya dapat menjadi bahan diskusi.
Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro sebagai Catatan VIII Baros Social Reform Institute (BSRI)
Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)dan salah deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Penulis berterimakasih pada beberapa aktivis ALP atas masukannya dalam diskusi
Tuesday, August 17, 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)