Kritik sederhana ini akhirnya “terpaksa” tertuang dalam bentuk uraian tulisan setelah selama beberapa hari ini pikir dan jiwa tercekat oleh pendapat dari seorang Indonesianist (ahli tentang Indonesia) ternama. Sang Indonesianist kawakan dari Universitas Ohio (kita sebut saja dia Bill Ohio) itu menyampaikan pendapat yang agak mengusik ketenangan para pemikir progressive ekonomi politik. Dalam sebuah orasi ilmiah di sebuah universitas swasta di Jakarta, dia berpendapat bahwa pemerataan perkembangan sumber daya politik seharusnya didukung dengan iklim demokrasi total yang bermutu.
Lebih lanjut, Bill Ohio menghubungkan demokrasi yang murni dengan ekonomi kapitalis dan pasar bebas. Sang professor politik ini melihat bahwa ekonomi kapitalis seharusnya berperan sebagai penyangga demokrasi total. Namun, dia juga melihat bahwa peran ekonomi kapitalis yang tidak optimal membangun demokrasi. Sampai pada bahasan ini, Bill pun mulai berpendapat bahwa peran kelas borjuis yang muncul secara natural dalam ekonomi kapitalis sebagai penyangga demokrasi puritan (murni). Bahkan Bill pun dengan lantang “menyalahkan” peran Marx yang notabene menjadi pengkritik utama kapitalisme. Dalam perspektifnya, Marx dianggap menyepelekan kelas borjuis yang seharusnya bisa berperan sebagai sumber daya politik dalam demokrasi.
Untuk menguatkan perspektifnya, Bill pun mengandalkan Niccolo Machiavelli filsuf politik Italia yang mengarahkan individu sebagai fokus utama ideologi. Individualism kelas borjuis yang mandiri diilhami semangat Machiavellist dianggap mampu untuk menciptakan dan memanfaatkan sumber daya politik di alam demokrasi puritan. Oleh Bill, Machiavelli dianggap lebih berperan mewarnai perkembangan era globalisasi dan neoliberalisasi dibandingkan dengan Marx.
Di titik inilah kemudian penulis menjadi terusik untuk menyusun kritik imajiner terhadap pendapat Bill Ohio yang cenderung mengalami bias posisi dalam meta-analisa. Bahkan apabila dilihat dari perspektif ekonomi-politik institusional yang progressive, alur pikir Bill terlihat seperti mengalami lompatan-lompatan ide yang tidak terstruktur dan cenderung “memaksakan” pendengar orasinya untuk terjebak dalam kontemplasi pikiran semu. Cukup mengherankan, Bill sang professor ini seperti terkungkung oleh perspektif anti-realita dalam menganalisa ekonomi-politik global.
Memang sesungguhnya bukan kelas penulis untuk mengkritik, tapi tulisan sederhana ini mewakili ideologi, sikap dan otak yang tidak kuasa untuk tidak mempertanyakan perspektif Bill Ohio. Ada tiga poin utama kritik penulis terhadap Bill:
1. Bill membandingkan peran Marx dan Machiavelli dalam kapitalisme pasar global. Dari perspektif penulis, perbandingan ala Bill ini semestinya dijelaskan ranah dan aspeknya. Andaikan Bill mengatakan bahwa Machiavelli lebih berperan dalam era globalisasi dibandingkan Marx, jelas ini salah kaprah dan lemah asumsinya. Penulis melihat Marx sebagai ahli ekonomi-politik besar di kala mudanya (dikenal sebagai pemikiran Marx muda) dan lebih cenderung memunculkan ide filosofis di kala tua (pemikiran Marx tua). Marx melakukan konstruksi pemikiran untuk mengkritik kapitalisme, termasuk mengkritik kemunculan kelas borjuis. Bahkan kritik Marx masih relevan terhadap kapitalisme di era globalisasi. Di sisi lain, ideologi individualism ala Machiavelli, menurut Bill, adalah tiang penyangga kemunculan kelas borjuis mandiri di kapitalisme untuk mendukung demokrasi.
Dalam hal ini jelas kurang relevan membandingkan siapa lebih berperan dibandingkan siapa. Jika ranahnya adalah ekonomi-politik, Marx akan lebih berperan secara teknis dalam mengkritik kapitalisme global. Sebagai contoh, Teori Tingkat Profit yang menurun di jangka panjang terjadi pada kapitalisme global. Tingkat profit Transnational Corporation Company (TNCs) di USA (negara kapitalis) menurun di era globalisasi 1970s-2000s,sebagai bukti kemunduran (Gordon 1980, Gordon, Bowles, Weisskopf 1983, O’Hara 2006). Filosofi Marx tentang akumulasi kapital yang akan mereduksi sistem relasi sosial terbukti melalui fondasi kritik hubungan kapital dan lingkungan alam dari Karl William Kapp. Disamping melanjutkan filosofi Marx,Kapp juga mengadopsi pemikiran Karl Polanyi tentang fictitious commodity,yang intinya mengingatkan akan bahaya mengkapitalisasi sumber daya alam. Dari dua contoh pemikiran Marx ini, jelas peran Marx cukup dominan sebagai kritikus kapitalisme. Sementara Machiavelli yang dianggap Bill sebagai aktor dominan demokrasi di era globalisasi via kelas borjuis mandiri, telah menanamkan pola individualis yang cenderung destruktif. Percuma saja demokrasi puritan, tapi individualis borjuis berkembang untuk mengkapitalisasi umat manusia. Inikah maksud Bill sebagai peran Machiavelli?
2. Bill hanya melihat dari perspektif politik untuk mengkaitkan peran politik dalam ekonomi global. Ini sangat sempit dan sangat mengagetkan bahwa hal ini keluar dari orasi seorang ilmuwan sekelas Bill. Penulis dengan kerendahan hati mengajak untuk berpikir dengan perspektif institusional ekonomi-politik progressive. Penulis akan memakai “senjata” analisis gelombang panjang (Kondratieff 1935, Gordon 1980, Lippit 2007, Kotz 2008, O’Hara 2006, 2008)perkembangan kapitalisme global untuk melihat kadar kebenaran pendapat Bill. Mungkin benar demokrasi via indikator Political Right dan Civil Liberties meningkat secara global dan dominan di negara kapitalis dalam kurun 1970s-2000s (Freedom House 2010). Namun analisis “gelombang panjang” melihat bahwa secara institutional kapitalisme global telah mempengaruhi kondisi sosio-ekonomi masyarakat. Pertumbuhan GDP per kapita di negara kapitalis (Amerika Utara, Eropa Barat dan Australia-New Zealand) berada di bawah 2.5 persen ketika memasuki era neoliberal di pertengahan 1970s sampai dekade 2000s (O’Hara 2008, Samudro 2011). Realita dari data ini hendaknya dipahami dengan sudut pandang ekonomi-politik progressive, bukan dalam perspektif neo-klasik. Dalam hal ini, ide Marx dalam penekanan historis specificity tercermin dalam analisis gelombang panjang. Demokrasi memang meningkat tapi reduksi performa sosio-ekonomi terjadi. Apa ini yang diinginkan oleh Bill lewat Machiavelli-nya?
3. Poin terakhir dalam kritik terhadap perspektif Bill lebih menekankan pada beberapa kontradiksi dalam era globalisasi atau yang dikatakan Bill sebagai penyangga demokrasi puritan dan bermutu. Bill tampaknya mulai lupa seiring usianya. Penulis mencoba mengingatkan bahwa 4 kali resesi ekonomi (pertengahan 1970s, awal 1980s, awal 1990s dan awal 2000s dan 2 krisis finansial (akhir 1990s dan akhir 2000s) terjadi di alam serba demokrasi dan neoliberalisasi antara 1970s sampai sekarang. Mungkin Bill benar bahwa demokrasi bermutu didukung kapitalisme pasar dan kelas borjuis, namun kontradiksi antara sektor finansial dan industri terjadi secara bersamaan di era 1970s-2000s akibat dari ide privatisasi (yang sebenarnya penjelmaan ide individualis ala Machiavelli). Di negara kapitalis, sektor finansial dominan dibandingkan industri sehingga profit dan produktivitas kapital menurun sehingga upah buruh juga menurun. Rendahnya produktivitas industri akan mempengaruhi net-export menjadi negatif, akibatnya capital inflow dan import dominan. Sebagai contoh, kasus sub-prime mortgage mengakibatkan collapse-nya industri mobil di USA (krisis finansial). Sekali lagi, apa ini yang dicita-citakan Bill sebagai dampak demokrasi bermutu?
Berdasarkan uraian tersebut, penulis secara sederhana mencoba melihat dari perspektif berbeda untuk mengkritik pendapat Bill dalam orasi ilmiahnya. Kritik yang dibuat secara ekletik, ilmiah dan simpatik sehingga menjadi bagian kontemplasi jiwa dan otak. Dengan segala kerendahan hati, tulisan kritik imajiner ini mungkin tidak akan tersampaikan karena hanya ide kecil dari “seniman jalanan ekonomi-politik Indonesia”. Namun setidaknya mewarnai segenap jiwa pemikir yang tertarik dengan ekonomi politik progressive dan heterodox untuk menunggu di simpang kiri jalan masa depan.
Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro (Dosen dan Peneliti Ekonomi Politik FE UNS)
Sebagai Catatan ke-9 Baros Social Reform Institute (BSRI)Surakarta
Tuesday, December 20, 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)