Thursday, November 5, 2009

Bahasa Tubuh Sang Pejabat Negara dalam Perspektif Dialektika

Sebuah pangkal diskusi yang sepertinya kurang menarik untuk dibahas. Pembahasan tentang “bahasa tubuh” dalam konteks formal memang akan terasa membosankan. Kebosanan yang muncul karena pembahasan dilakukan tanpa pendekatan dialektika. Namun jika kita membahas “bahasa tubuh” dalam pendekatan dialektika, maka probabilitas ketertarikan dalam membahas bahasa tubuh bisa jadi meningkat. Apalagi dalam membahas dan menganalisa bahasa tubuh para pejabat negara.

Bahasa tubuh (body language) dapat diartikan sebagai gerakan atau sikap tubuh manusia yang berperan sebagai sinyal untuk menyampaikan pesan secara implisit. Sinyal pesan yang muncul dari orang yang melakukan “bahasa tubuh” dapat memiliki bermacam tingkat interpretasi. Interpretasi yang muncul dari penerima pesan dapat dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya kondisi/situasi yang terjadi antara penerima dan pengirim pesan; strata sosial dari penerima dan pengirim pesan; tingkat pendidikan atau profesi antara pengirim dan penerima pesan; konsensus antara penerima dan pengirim pesan dan beberapa faktor lain. Interpretasi yang bervariasi menjadi hal yang jamak jika melihat dari banyaknya faktor yang mempengaruhi penerima pesan. Variasi ini juga akan menjadi bias manakala pesan yang disampaikan melalui bahasa tubuh diterima dengan interpretasi berbeda dengan maksud pengirim pesan. Hal lain yang dapat terjadi ketika pengirim pesan melakukan bahasa tubuh untuk mengirim pesan yang hanya dapat diinterpretasikan secara benar (sesuai dengan maskud si pengirim) oleh beberapa orang saja. Artinya si pengirim pesan dengan sengaja melakukan “pembiasan” sehingga pesan tersebut hanya dapat diterima dengan “benar” (sesuai maksud awal pengirim pesan) hanya oleh segelintir orang saja. Segelintir orang ini dapat mengerti maksud dari si pengirim pesan karena sudah ada konsensus tentang makna “bahasa tubuh” yang akan disampaikan diantara mereka.

Di sisi lain, sedikit membahas tentang dialektika, dapat dijelaskan dalam 2 pola (lihat Encyclopedia Political Economy, Routledge, 2001), yaitu dialektika terjadi jika ada perkembangan dari suatu konsep (konsep kedua) yang berlawanan dengan konsep yang sudah ada (konsep pertama), dan ternyata konsep kedua disangkal/dipatahkan oleh konsep 1. Pola kedua, jika perkembangan dari suatu konsep (konsep kedua) dapat melengkapi atau bahkan “mematahkan” konsep pertama yang sudah ada (dengan catatan dua konsep tersebut memiliki hubungan dan berada dalam ranah/konteks yang sama).
Konsep dialektika ini dapat digunakan sebagai metode dalam melihat interpretasi bahasa tubuh dengan penjelasan jika bahasa tubuh dilakukan dengan baik oleh pengirim pesan dan dapat diterima dengan “benar” oleh penerima pesan, diasumsikan sebagai konsep pertama. Keadaan sebaliknya terjadi ketika maksud pesan dari pengirim pesan tidak dapat diterima dengan “benar” oleh penerima pesan akibat interpretasi yang bias. Di dalam proses ini telah terjadi dialektika, manakala konsep pertama bahwa bahasa tubuh dapat mengirim pesan dengan benar “berlawanan” dengan keadaan sebaliknya. Dialektika yang lain dapat terjadi, manakala si pengirim pesan dengan sengaja “melakukan pembiasan” dengan menciptakan bahasa tubuh yang hanya diketahui oleh segelintir orang (akibatnya bias bagi orang kebanyakan/sebagian besar). Hal ini juga merupakan dialektika dari konsep pertama karena konsep kedua yang juga “konsep pembiasan” bahasa tubuh ini merupakan bagian dari pengembangan konsep pertama itu sendiri.

Proses pembiasan ini sepertinya sering kali terjadi dalam ranah politik. Asumsi atau hipotesis ini mungkin terlalu ekstreem tapi akan menjadi logis jika dilihat dari penjelasan dialektika bahasa tubuh di atas. Seorang politisi atau bahkan pejabat negara sering berlebihan dalam menggunakan “bahasa tubuh”, jika diperhatikan dengan seksama ada beberapa variasi dari perilaku mereka. Ada yang menggunakan bahasa tubuh lebih dominan karena kemampuan verbalnya kurang memadai. Ada pula yang menggunakan bahasa tubuh untuk melengkapi performanya ketika berbicara atau berpidato. Khususnya untuk bahasa tubuh yang digunakan dalam berpidato, banyak sekali fenomena dialektika konsep bahasa tubuh yang terjadi. Seorang pejabat negara ada yang sering berpidato dengan bahasa tubuh yang menarik untuk dicermati, misal: penulis mengamati sang pejabat berkata “ kasus korupsi hendaknya dapat diselesaikan dengan tuntas dan dapat dijelaskan kronologisnya kepada masyarakat secara gamblang…”; yang menarik pada saat dia berkata “gamblang” (dalam kamus bahasa Indonesia berarti “jelas atau mudah dimengerti), ternyata kata “gamblang” diucapkan bersamaan dengan bahasa tubuh berupa “ibu jari dan jari telunjuk digerakkan mendekat” atau dapat diartikan dipersempit. Berarti makna “gamblang” yang diucapkan melalui mulutnya berbeda makna denga bahasa tubuh yang dilakukannya. Dalam kasus ini yang harus dicermati adalah memang sang pejabat tidak sengaja melakukan itu; atau dia memang sengaja melakukan itu untuk melakukan “pembiasan” pesan melalui bahasa tubuh dan “lebih mengerikan” lagi jika pesan tersebut ternyata memang khusus hanya dimengerti oleh sekelompok orang. Bayangkan jika hal tersebut dilakukan oleh pejabat negara yang dengan lantang mengatakan akan memberantas korupsi tetapi bahasa tubuhnya menyiratkan sebaliknya dan hal itu diinterpretasikan oleh “anak buahnya”, hal ini akan menjadi kontraproduktif.

Namun hal ini hanya merupakan diskusi “pinggiran” yang mencoba melihat suatu fenomena dengan kritis dari suatu perspektif. Kebenaran di dunia hanya bersifat relatif, semua akan terjawab dengan kebenaran hakiki dari Yang Maha Kuasa.

Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro sebagai Catatan Pinggir IV
Baros Social Reform Institute (BSRI)

Sunday, November 1, 2009

Korupsi Sentimen Moral dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Pengantar
Pro-kontra tentang ditangkapnya dua orang anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto makin menghangat dengan menyimak konferensi pers oleh Polri. Dalam perspektif Polri, dua orang tersebut (Chandra dan Bibit) ditangkap karena alat bukti telah dapat dipenuhi sehingga layak untuk diancam hukuman lima tahun . Selain itu Polri berpendapat bahwa tindakan Chandra dan Bibit menggelar konferensi pers dapat menciptakan opini publik yang memihak KPK.

Suatu hal yang menarik lagi untuk disimak lagi adalah pernyataan pemerintah kita yang baru. Presiden SBY, sebagai simbolisasi pemerintah, menyatakan tidak akan campur tangan dalam kasus ini dan menyerahkan sepenuhnya pada Polri dan jalur hukum. Suatu sikap yang menarik untuk dicermati dengan perspektif kritis. Sebagai kepala Negara dan pemerintahan adalah suatu hal yang “aneh” jika presiden seolah tidak ikut campur dalam kasus ini. Sebuah keniscayaan dalam suatu hierarkhi pemerintahan, institusi yang berada di bawah Presiden (baca: Polri) tidak mendapat “komando” dari pimpinan Negara dalam mengambil suatu tindakan hukum yang “relatif beresiko”.

Asumsi ini semestinya harus disikapi kritis oleh rakyat dan masyarakat yang berkarakter progresif. Sikap kritis perlu digunakan dalam memahami kronologi KPK versus Polri (atau popular disebut Cicak versus Buaya) ini. Kasus bank Century menjadi salah satu pangkal perseturuan KPK versus Polri. KPK melakukan investigasi dengan hasil yang mengejutkan sekaligus dapat menjadikan kasus ini jadi berkepanjangan. Investigasi KPK menunjukkan dugaan keterlibatan beberapa anggota Polri (termasuk Susno Duadji) dan bahkan nama wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani juga diduga ikut terlibat. Nama Susno Duadji yang mulai terkuak membuat Polri mempersiapkan “serangan balasan” ke KPK dengan memakai kasus Anggoro Widjojo dan kasus Djoko Tjandra. Dua pimpinan KPK dianggap lalai dan menyalahgunakan wewenang dengan menerbitkan dan sekaligus mencabut surat status cegah ke luar negeri pada dua orang tersebut. Polri juga menduga bahwa KPK telah memeras Anggoro Widjojo yang kasus korupsinya sedang diproses di KPK. Polri semakin “gencar menyerang” KPK dengan terkuaknya dokumen yang ditandatangani Anggoro Widjojo serta Ari Muladi. Dokumen yang dikenal dengan nama Dokumen 15 Juli tersebut menjelaskan kronologis kasus korupsi anggota KPK.

Perseteruan Polri versus KPK memuncak dengan tersebarnya dokumen transkrip pembicaraan Anggodo Widjojo (adik Anggoro Widjojo) dengan Wisnu Subroto (bekas Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen), dokumen tersebut menunjukkan dugaan keterlibatan beberapa pejabat Negara (termasuk Presiden di dalamnya Pimpinan pemerintahan negeri kita tercinta ini tampaknya cukup “meradang” dan langsung memerintahkan Polri untuk mengungkap kasus yang menurut sang presiden adalah rekayasa). Transkrip tersebut dianggap sebagai upaya rekayasa pimpinan KPK (Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto) dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan penerimaan suap.


Korupsi Sentimen Moral
Sebuah kronologi yang cukup mendebarkan dalam melihat perseteruan KPK versus Polri dengan pimpinan pemerintahan sekaligus Negara (baca: Presiden) seolah tidak berusaha menjadi penengah. Seperti dijelaskan di atas, sebuah keniscayaan jika sang presiden sampai tidak memahami kronologis kasus ini. Kasus ini hendaknya dipahami dengan lebih kritis.

Dari perspektif ekonomi, Adam Smith dalam bukunya The Theory of Moral Sentiment (1759) mengasumsikan bahwa sebuah obsesi terhadap kesejahteraan dan kekuasaan dengan melalaikan kemiskinan dan kesengsaraan adalah penyebab utama korupsi (kerusakan) dalam perasaan (sentimen) moral kita. Terkadang orang lebih memahami The Wealth of Nation (1788) saja dalam mengembangkan konsep ekonomi tetapi jarang memahami Theory of Moral Sentiment. Padahal untuk membaca dan memahami The Wealth of Nation perlu juga memahami konsep Theory of Moral Sentiment. Sentimen moral akan bisa memahami konsep bangsa sejahtera dalam perspektif lebih filosofis dan bahkan secara teologi. Institusi yang sehat dibutuhkan untuk mendukung terbentuknya negara sejahtera. Pengertian institusi yang sehat hendaknya lebih dari sekedar materialisasi ouput kinerja, tetapi masalah moral dari orang-orang yang ada di dalamya. Konsep kapitalis dalam The Wealth of Nation-nya Adam Smith masih melihat negara sejahtera dengan dukungan institusi sehat secara moral, ini suatu hal yang terkadang terabaikan oleh para pembaca bahkan penganut The Wealth of Nation.

Simpulan Sebuah Catatan
Jika kita kembali dalam kasus korupsi di negara tercinta, sepertinya konsep negara sejahtera dengan institusi yang sehat secara moral belum terwujud. Bahkan sebagai pimpinan negara, presiden memiliki sentimen moral dalam memahami kasus korupsi dan dalam menengahi kasus perseteruan KPK versus Polri. Perasaan moral terhadap kerugian negara, kemiskinan, dan kesengsaraan rakyat terabaikan oleh kegusaran hati karena nama-nya (RI I dan beberapa pejabat negara) diduga terlibat kasus korupsi. Ini suatu hal yang memprihatinkan. Pemerintah seperti tidak ingin mengakui bahwa kemiskinan dan kesengsaraan adalah karena moral dan mental para pejabat negara yang sudah terdistorsi. Sebuah perasaan (sentiment) moral yang sudah terkorupsi untuk melakukan sebuah pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi di negara kita telah stagnan dengan telah ter-korupsinya moral para pejabat negara. Para pejabat negara seperti tidak bisa memahami kasus korupsi dengan kritis bahkan cenderung lepas tanggung jawab (dengan berkata: tidak akan campur tangan dan akan diserahkan pada proses hukum). Sebuah pernyataan yang klise yang menunjukkan ketidakpedulian atau sentiment moral yang terkorupsi karena adanya kepentingan.

Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro sebagai Catatan Pinggir III
Tulisan sederhana ini dedikasikan sebagai ungkapan dukungan Baros Social Reform Institute (BSRI) terhadap KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.