Sebuah pangkal diskusi yang sepertinya kurang menarik untuk dibahas. Pembahasan tentang “bahasa tubuh” dalam konteks formal memang akan terasa membosankan. Kebosanan yang muncul karena pembahasan dilakukan tanpa pendekatan dialektika. Namun jika kita membahas “bahasa tubuh” dalam pendekatan dialektika, maka probabilitas ketertarikan dalam membahas bahasa tubuh bisa jadi meningkat. Apalagi dalam membahas dan menganalisa bahasa tubuh para pejabat negara.
Bahasa tubuh (body language) dapat diartikan sebagai gerakan atau sikap tubuh manusia yang berperan sebagai sinyal untuk menyampaikan pesan secara implisit. Sinyal pesan yang muncul dari orang yang melakukan “bahasa tubuh” dapat memiliki bermacam tingkat interpretasi. Interpretasi yang muncul dari penerima pesan dapat dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya kondisi/situasi yang terjadi antara penerima dan pengirim pesan; strata sosial dari penerima dan pengirim pesan; tingkat pendidikan atau profesi antara pengirim dan penerima pesan; konsensus antara penerima dan pengirim pesan dan beberapa faktor lain. Interpretasi yang bervariasi menjadi hal yang jamak jika melihat dari banyaknya faktor yang mempengaruhi penerima pesan. Variasi ini juga akan menjadi bias manakala pesan yang disampaikan melalui bahasa tubuh diterima dengan interpretasi berbeda dengan maksud pengirim pesan. Hal lain yang dapat terjadi ketika pengirim pesan melakukan bahasa tubuh untuk mengirim pesan yang hanya dapat diinterpretasikan secara benar (sesuai dengan maskud si pengirim) oleh beberapa orang saja. Artinya si pengirim pesan dengan sengaja melakukan “pembiasan” sehingga pesan tersebut hanya dapat diterima dengan “benar” (sesuai maksud awal pengirim pesan) hanya oleh segelintir orang saja. Segelintir orang ini dapat mengerti maksud dari si pengirim pesan karena sudah ada konsensus tentang makna “bahasa tubuh” yang akan disampaikan diantara mereka.
Di sisi lain, sedikit membahas tentang dialektika, dapat dijelaskan dalam 2 pola (lihat Encyclopedia Political Economy, Routledge, 2001), yaitu dialektika terjadi jika ada perkembangan dari suatu konsep (konsep kedua) yang berlawanan dengan konsep yang sudah ada (konsep pertama), dan ternyata konsep kedua disangkal/dipatahkan oleh konsep 1. Pola kedua, jika perkembangan dari suatu konsep (konsep kedua) dapat melengkapi atau bahkan “mematahkan” konsep pertama yang sudah ada (dengan catatan dua konsep tersebut memiliki hubungan dan berada dalam ranah/konteks yang sama).
Konsep dialektika ini dapat digunakan sebagai metode dalam melihat interpretasi bahasa tubuh dengan penjelasan jika bahasa tubuh dilakukan dengan baik oleh pengirim pesan dan dapat diterima dengan “benar” oleh penerima pesan, diasumsikan sebagai konsep pertama. Keadaan sebaliknya terjadi ketika maksud pesan dari pengirim pesan tidak dapat diterima dengan “benar” oleh penerima pesan akibat interpretasi yang bias. Di dalam proses ini telah terjadi dialektika, manakala konsep pertama bahwa bahasa tubuh dapat mengirim pesan dengan benar “berlawanan” dengan keadaan sebaliknya. Dialektika yang lain dapat terjadi, manakala si pengirim pesan dengan sengaja “melakukan pembiasan” dengan menciptakan bahasa tubuh yang hanya diketahui oleh segelintir orang (akibatnya bias bagi orang kebanyakan/sebagian besar). Hal ini juga merupakan dialektika dari konsep pertama karena konsep kedua yang juga “konsep pembiasan” bahasa tubuh ini merupakan bagian dari pengembangan konsep pertama itu sendiri.
Proses pembiasan ini sepertinya sering kali terjadi dalam ranah politik. Asumsi atau hipotesis ini mungkin terlalu ekstreem tapi akan menjadi logis jika dilihat dari penjelasan dialektika bahasa tubuh di atas. Seorang politisi atau bahkan pejabat negara sering berlebihan dalam menggunakan “bahasa tubuh”, jika diperhatikan dengan seksama ada beberapa variasi dari perilaku mereka. Ada yang menggunakan bahasa tubuh lebih dominan karena kemampuan verbalnya kurang memadai. Ada pula yang menggunakan bahasa tubuh untuk melengkapi performanya ketika berbicara atau berpidato. Khususnya untuk bahasa tubuh yang digunakan dalam berpidato, banyak sekali fenomena dialektika konsep bahasa tubuh yang terjadi. Seorang pejabat negara ada yang sering berpidato dengan bahasa tubuh yang menarik untuk dicermati, misal: penulis mengamati sang pejabat berkata “ kasus korupsi hendaknya dapat diselesaikan dengan tuntas dan dapat dijelaskan kronologisnya kepada masyarakat secara gamblang…”; yang menarik pada saat dia berkata “gamblang” (dalam kamus bahasa Indonesia berarti “jelas atau mudah dimengerti), ternyata kata “gamblang” diucapkan bersamaan dengan bahasa tubuh berupa “ibu jari dan jari telunjuk digerakkan mendekat” atau dapat diartikan dipersempit. Berarti makna “gamblang” yang diucapkan melalui mulutnya berbeda makna denga bahasa tubuh yang dilakukannya. Dalam kasus ini yang harus dicermati adalah memang sang pejabat tidak sengaja melakukan itu; atau dia memang sengaja melakukan itu untuk melakukan “pembiasan” pesan melalui bahasa tubuh dan “lebih mengerikan” lagi jika pesan tersebut ternyata memang khusus hanya dimengerti oleh sekelompok orang. Bayangkan jika hal tersebut dilakukan oleh pejabat negara yang dengan lantang mengatakan akan memberantas korupsi tetapi bahasa tubuhnya menyiratkan sebaliknya dan hal itu diinterpretasikan oleh “anak buahnya”, hal ini akan menjadi kontraproduktif.
Namun hal ini hanya merupakan diskusi “pinggiran” yang mencoba melihat suatu fenomena dengan kritis dari suatu perspektif. Kebenaran di dunia hanya bersifat relatif, semua akan terjawab dengan kebenaran hakiki dari Yang Maha Kuasa.
Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro sebagai Catatan Pinggir IV
Baros Social Reform Institute (BSRI)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment