Oleh: Bhimo Rizky Samudro*)
Moody’s Investment Grade
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan bahwa Moody’s Investor Service, telah melakukan survey terhadap perkembangan perekonomian dan infrastruktur di Indonesia. Moody’s Investor Service merupakan lembaga internasional penyusun peringkat negara atas dasar tingkat potensi investasi. Lebih lanjut, Hatta menyatakan bahwa lembaga tersebut sedang mempelajari konsep pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Pernyataan Hatta tersebut juga didukung oleh perntaaan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sri Mulyani juga mengemukakan tentang target Indonesia untuk dapat masuk ke investment grade dalam jangka waktu 1 tahun ke depan. Optimisme sang Menkeu itu didasarkan bahwa posisi APBN Indonesia yang semakin kuat dalam pandangan Moody’s.
Obsesi untuk dapat mendorong Indonesia masuk dalam investment grade versi Moody’s memang cukup logis dan bermanfaat. Namun yang perlu diperhatikan adalah indikator yang dijadikan tolok ukur investment grade tersebut. Indikator yang digunakan sebagai dasar obsesi investment grade tersebut dapat menjadi sebuah diskursus. Pemerintah tampaknya cenderung terobsesi dengan indikator pertumbuhan lewat APBN dan infrastruktur. Namun di sisi lain, pemerintah kurang memperhatikan institusi dan struktur sosial yang berkembang di masyarakat. Hal ini memunculkan sebuah kontradiksi.
Kontradiksi Investment Grade vs Realitas Sosial: Logika dan Empiris
Kontradiksi merupakan sebuah pengertian dalam ekonomi politik yang berarti sebuah proses endogen dalam suatu sistem (sosio-ekonomi) sebagai hasil hubungan struktural antara dua aspek yang mengarah kepada anomali atau berlawanan. Pemerintah di satu sisi lebih mengarahkan pada konsep pertumbuhan dan menggunakan momentum serta peran Moody’s untuk meningkatkan citra investasi di Indonesia. APBN dan infrastruktur mengalami peningkatan dapat berpotensi meningkatkan investment grade Indonesia. Kenaikan investment grade akan meningkatkan citra investasi Indonesia. Obsesi yang diharapkan adalah mengundang kembali para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia (motif ini didasarkan asumsi peringkat Indonesia di Moody’s). Logika ini yang tampaknya mendasari obsesi dari pemerintah untuk memanfaatkan momentum Moody’s Investment Grade ini.
Obsesi investment grade ini akan menjadi problematika tersendiri bagi pemerintah. Artinya pada saat logika pertumbuhan ekonomi dipakai pemerintah dan dapat memenuhi obsesinya untuk mendapatkan investment grade, pemerintah memiliki dasar bahwa Indonesia layak bagi investor. Namun dari sisi realitas sosio-ekonomi, investor hanya akan memperoleh “kenyamanan semu” dalam berinvestasi di Indonesia. Suatu hal yang ironis jika mereka mendapatkan banyak “barrier” institusi dan regulasi pemerintah yang belum tertata dengan baik. Permasalahan kolusi dan korupsi juga akan rentan menghadang para investor. Belum lagi, para investor harus menghadapi banyak realitas sosial yang akan bertolak belakang dengan indikator pertumbuhan yang ada.
Pemerintah seharusnya tidak terlalu terobsesi dengan indikator pertumbuhan ekonomi dan bahkan investment grade. Pemerintah semestinya melihat beberapa bukti empiris (realitas sosial) yang dapat memperkuat asumsi bahwa telah terjadi kontradiksi antara obsesi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosio-ekonomi di Indonesia. Indonesia diantara negara-negara dunia memiliki level menengah (medium Human Development) dalam pembangunan sumber daya manusia. Posisi Indonesia di peringkat 111 dengan angka Human Development Index (HDI) 0.734 pada tahun 2007 (UNDP 2009). Hal krusial yang perlu diperhatikan adalah nilai rangking GDP per kapita Indonesia minus rangking HDI-nya menunjukan nilai + 10. Angka tersebut menunjukkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia berjalan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya terdapat hubungan struktural antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia di Indonesia. Padahal jika melihat realita sosio-ekonomi yang ada akan sangat berbeda dengan logika interpretasi data yang ada, misal belum tercapainya target MDG’s bidang kesehatan dan pendidikan. Berdasarkan data ADB 2009, Indonesia mengalami peningkatan kematian ibu melahirkan 307/ 100.000 kelahiran hidup ke angka kematian ibu melahirkan 420/100.000 kelahiran hidup. Dengan kata lain telah terjadi disfungsi struktural antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia di Indonesia secara realita.
Permasalahan disfungsi struktural antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia di Indonesia juga terjadi pada indikator tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang asing (trust to another nationality). Berdasarkan data World Values Survey (WVS) 2009, masyarakat di Indonesia memiliki tingkat kepercayaan terhadap orang asing 13.8% dan nilai ini termasuk rendah jika dibandingkan dengan sesama negara ASEAN, seperti Thailand (24,90 %) dan Vietnam (18,90 %). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat investment grade yang tinggi akan berhadapan dengan realitas bahwa masyarakat Indonesia masih relatif berhati-hati dengan “orang asing”, di sisi lain investor asing akan masuk dengan asumsi investment grade yang tinggi (kondusif bagi investasi). Hal ini membuktikan lagi sebuah kontradiksi dan sekaligus merupakan contoh realita disfungsi structural di Indonesia.
Simpulan Sebuah Catatan
Obsesi pemerintah untuk mendapatkan investment grade (versi Moody’s) yang tinggi memang layak untuk diapresiasi dan potensial memacu pertumbuhan ekonomi. Namun pemerintah perlu juga memperhatikan asumsi yang mendasari obsesi tersebut. Pemerintah hendaknya perlu melihat realitas sosio-ekonomi, seperti pembangunan sumber daya manusia (kesehatan dan pendidikan) serta memperhatikan juga fenomena tingkat kepercayaan masyarakat (terutama terhadap orang asing). Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan indikator GDP, APBN dan infrastruktur fisik akan mengalami disfungsi struktural dengan realitas pembangunan manusia atau dengan kata lain telah terjadi kontradiksi struktural antara pertumbuhan ekonomi (melalui GDP dan investasi) dengan pembangunan manusia yang berbasis pada realita.
*)Staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)
Salah satu deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment