Oleh: Bhimo Rizky Samudro*)
Pada Rabu pagi tanggal 14 April 2010, sekitar 100 warga Tanjung Priok terlibat bentrokan dengan Satpol Pamong Praja (PP) dan aparat kepolisian di depan TPU Dobo, Kelurahan Koja, Jakarta Utara. Warga mempertahankan makam Mbah Priok (seorang yang menjadi tokoh ulama setempat) dari penggusuran oleh pemerintah kota (pemkot). Warga setempat tampaknya tidak merelakan bahwa makam tokoh panutan mereka digusur dengan alasan apapun dari pemkot. Akhirnya bentrokan tidak dapat dihindarkan dan menyebabkan dampak kerugian yang cukup besar.
Bentrokan tersebut mengakibatkan 2 dua orang korban tewas dan 130 mengalami luka berat maupun ringan (Kompas, 15 April 2010). Sekitar puluhan mobil, baik pribadi maupun dari pihak polisi dan Satpol PP dibakar oleh massa. Kerugian ini masih ditambah dengan terhambatnya arus lalu-lintas barang ekspor-impor ke pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini secara umum merupakan deskripsi dampak dari permasalahan sosio-ekonomi yang sedang melanda negara kita, khususnya di kawasan tersebut.
Sirkulasi dan Akumulasi Sosial
Permasalahan sosio-ekonomi yang melanda negeri ini memang menjadi bagian dari sebuah akumulasi struktur sistem dan manusia yang ada di dalamnya. Apabila memori kita kembali pada peristiwa di daerah yang sama pada tahun 1984, kita seakan dituntun untuk berpikir tentang akar utama penyebab terjadinya kembali bentrokan yang sejenis 26 tahun kemudian. Artinya ada sebuah akumulasi permasalahan sosial yang berkaitan dengan pola yang sama dan berjalan dalam suatu runtun waktu. Akumulasi ini ternyata memiliki umpan balik (feedback) negatif dan muncul sebagai sebuah bentrokan sosial atau lebih tepatnya tragedi setelah 26 tahun terendap.
Akumulasi permasalahan dari peristiwa di Tanjung Priok (atau lebih populer disebut Tragedi Priok 2010) ini tampaknya sejalan dengan hipotesa circular and cumulative causation dari Gunnar Myrdal. Secara sederhana Myrdal menjelaskan tentang adanya sirkulasi (circular) hubungan interdependensi faktor-faktor universal yang ada (ekonomi, sosial, politik, budaya) yang bergerak dalam suatu pola yang sama dalam kurun waktu tertentu. Sirkulasi ini menghasilkan efek magnifikasi (semakin besar dan kuat) sebagai sebuah umpan balik dan bersifat akumulatif. Hal ini yang kemudian disebut dengan istilah cumulative causation. Efek akumulatif ini dapat berupa aspek positif maupun negatif. Jika ternyata menghasilkan efek yang negatif, maka dikatakan telah terjadi kontradiksi dalam proses akumulasi struktur dari faktor-faktor universal yang ada.
Kontradiksi Sosio-Ekonomi Tanjung Priok
Secara sederhana hipotesa Myrdal ini dapat digunakan untuk menjelaskan pola sebab-akibat Tragedi Priok 2010. Ada beberapa aspek yang dapat dijadikan sebuah diskursus tentang realita sosio-ekonomi di kawasan Tanjung Priok, salah satunya adalah antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia di kawasan ini. Kawasan Priok merupakan kawasan industri dan perdagangan yang cukup maju di DKI Jakarta. Kawasan ini tersebut tidak pernah sepi dari truk container pengangkut barang (ekspor-impor) yang silih berganti dari pelabuhan. Fenomena ini menunjukkan bahwa secara umum kawasan ini memiliki kegiatan ekonomi yang dominan. Namun di sisi lain, masalah pembangunan manusia di kawasan ini juga hendaknya menjadi perhatian dari pemerintah setempat agar tidak tertinggal secara relatif dengan wilayah lain di Propinsi DKI Jakarta.
Simulasi sederhana dapat dilakukan untuk mengkaji hubungan struktural antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia di Jakarta Utara (Jakut), khususnya kawasan Priok. Kita dapat menggunakan posisi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk mengkaji daerah Jakut. Posisi dalam konteks ini adalah posisi relatif PDRB dan IPM kota Jakut terhadap daerah lainnya di Propinsi DKI Jakarta. Secara logika, jika selisih angka peringkat PDRB kota Jakut dengan IPM-nya menghasilkan angka negatif, maka telah terjadi kontradiksi dalam hubungan struktural antara faktor ekonomi dan pembangunan manusia di kawasan tersebut. Artinya pertumbuhan ekonomi di kawasan ini secara relatif lebih dominan dibandingkan proses pembangunan manusia-nya. Pertumbuhan ekonomi yang hendaknya berkembang mendukung pembangunan manusia, namun hal ini justru tidak terjadi di kawasan ini (dengan asumsi simulasi di atas). Jika simulasi ini sesuai dengan realita yang ada, berarti kita juga harus mengkaji penyebab fenomena kontradiksi ini.
Kontradiksi dalam hubungan struktural antara faktor ekonomi dan pembangunan manusia di kawasan Jakut diasumsikan dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, secara historis Jakut memang didesain oleh kolonial menjadi kawasan industri dan perdagangan, dan bukan merupakan kawasan pemukiman maupun pendidikan bagi masyarakat Jakarta (Batavia). Secara relatif, lingkungan sosial menjadi kurang mendukung iklim pembangunan manusia (pendidikan). Kedua, iklim pembangunan manusia yang relatif kurang kondusif menjadi salah satu pembentuk karakter dan budaya yang “keras” dan secara psikologis cenderung over responsive terhadap suatu permasalahan. Ketiga, faktor stigma “daerah yang keras” yang justru didengungkan oleh pemerintah kota atau propinsi terhadap kawasan ini. Peristiwa Tanjung Priok 1984 merupakan bukti pemberian stigma sekaligus sikap over repressive pemerintah terhadap warga setempat. Padahal di sisi lain, secara realita, kawasan Jakut juga memiliki kultur religi (Islam) yang cukup kuat. Hal ini mengakibatkan dorongan psikologis bagi warga setempat untuk membuktikan eksistensi bahwa mereka memiliki nilai-nilai religi kuat dan cenderung “tidak rela” jika stigma negatif terus melekat di daerah ini. Namun karena relatif kurang didukung dengan iklim edukasi yang kuat, maka dorongan eksistensi yang muncul adalah perlawanan yang cenderung keras (fisik). Hal ini yang perlu menjadi perhatian dan secara bertahap hendaknya harus dapat direduksi.
Jika kita memperhatikan asumsi penyebab adanya kontradiksi dalam hubungan struktural di kawasan Jakut, maka kita dapat mengkaji dengan membandingkan dua peristiwa (tahun 1984 dan 2010). Karakteristik kedua peristiwa ini hampir mirip, yaitu dipicu objek permasalahan yang berkaitan dengan kultur (religi). Di tahun 1984, amarah massa dipicu salah satunya karena adanya isu aparat militer yang memasuki masjid dengan tidak menghormati aturan (tetap memakai sepatu di daerah suci). Sementara 26 tahun kemudian, di kawasan yang sama, massa juga terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian dan satpol PP juga karena mempertahankan kultur religinya. Massa setempat marah karena makam Mbah Priuk, salah satu tokoh ulama mereka, akan digusur oleh aparat kepolisian dan Satpol PP.
Sirkulasi hubungan antara struktur ekonomi dan pembangunan manusia (sosial dan budaya) di kawasan Jakut mengalami kontradiksi dengan pola yang sama dari zaman kolonial sampai sekarang. Pola kontradiksi tersebut terus mengalami magnifikasi (menjadi besar) dan memberikan dampak akumulasi yang negatif contoh: peristiwa tahun 1984 dan 2010 di atas. Akumulasi kontradiksi yang berjalan seiring dengan waktu ini menjadi suatu problem sosial yang harus segera diselesaikan.
Jika permasalahannya terletak pada adanya gap struktural antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia (institutional/structural gap between growth and human development), maka kita dapat melakukan rekonstruksi pada elemen strukturnya. Pertama, secara perlahan mulai pemerintah mensosialisasikan untuk menghilangkan stigma “daerah keras” dan menggantinya dengan “memunculkan” kultur religi yang menjadi khas setempat. Kedua, sosialisasi ini juga didukung dengan alokasi pembangunan manusia di sektor pendidikan, pemerintah lebih progresif mengarahkan alokasi dana APBD untuk meningkatkan kualitas sekolah di kawasan ini (dari pendidikan dasar hingga menengah). Artinya pertumbuhan ekonomi di kawasan ini berjalan seiring dengan pembangunan manusia-nya, dimana ekonomi mendukung sektor pendidikan. Diharapkan masyarakat setempat dapat mengungkapkan eksistensinya dengan pola yang cenderung edukatif.
Simpulan Sebuah Catatan
Catatan ini mencoba melihat Tragedi Priok 2010 dari perspektif ekonomi politik, yang secara sederhana melihat adanya unsur akumulasi dan kontradiksi struktur sosial di balik peristiwa tersebut. Peristiwa Tanjung Priok tahun 2010 sebenarnya merupakan sebuah dampak akumulasi dari sebuah kontradiksi struktur sosio-ekonomi yang ada di kawasan tersebut. Dampak kontradiksi yang sempat “meledak” di tahun 1984 ternyata kurang diperhatikan oleh kita sehingga peristiwa serupa terulang lagi. Gap struktural antara faktor ekonomi dan pembangunan manusia (sosial) hendaknya dapat direduksi dan sekaligus dapat dihindarkan pula dampak magnifikasi serta akumulasinya di masa datang. Akhirnya, harapan kita semua adalah melihat Tanjung Priok sebagai sebuah kawasan yang bukan hanya maju secara ekonomi namun juga kondusif dari sisi sosial.
*)Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)
Anggota dan salah satu deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment