Wednesday, May 5, 2010

Mengkritisi Suatu Kebanggaan Semu

Mencoba berpikir objektif dan kritis diperlukan dalam memahami mundurnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI). Rencana pengunduran diri SMI dari kabinet untuk menjabat Managing Director World Bank, merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dicerna secara kritis. Sikap kritis itu diperlukan untuk mencegah adanya persepsi yang bias yang berujung pada ketidaktahuan terhadap motif dari suatu peristiwa.Persepsi yang bias atau barangkali sengaja dibiaskan seringkali terjadi jika kita tidak berusaha untuk berpikir kritis terutama terhadap berbagai bentuk infiltrasi hegemoni kapitalis dan neoliberalisme bahkan neokolonialisme.

Sekilas Historis Neoliberalisme
Angus Maddison (2007) memaparkan bahwa fase tahun 1974 sampai dekade tahun 2000-an merupakan fase neoliberalisme. Di dalam era tersebut, negara-negara barat (USA, Eropa Barat dan Australia) mengalami penurunan nilai pertumbuhan pendapatan per kapita dibandingkan fase sebelum 1974. Dari tahun 1974-2005 pertumbuhan pendapatan per kapita di negara barat hanya mencapai 1.43 persen atau mengalami downswing era (pertumbuhan antara 1-2 persen). Sementara di negara-negara Asia, termasuk China dan Jepang, mengalami situasi yang berbeda, di mana negara-negara tersebut mengalami upswing era (antara 2-3 persen). Jika sedikit mengingat para pemimpin negara aliran neoliberalis, selain Ronald Reagen (USA) dan Margaret Thatcher (United Kingdom), serta Deng Xiaoping dari China merupakan salah satu penggagasnya.

Deng cukup berhasil untuk mengembangkan neoliberalisasi di China. China sebuah negara dengan penduduk terbesar di dunia segera “bergerak” menjadi salah satu negara yang menjadi tonggak neoliberalis. USA sendiri tampaknya perlu “belajar” dari China tentang neoliberal karena justru posisi USA mengalami downswing era. USA dengan beberapa negara Barat tidak kehilangan ide untuk mengembalikan supremasi mereka. Mereka menggunakan hegemoni kapital yang lain dalam bentuk institusi kapital, yaitu lembaga-lembaga internasional termasuk World Bank dan IMF.

Hegemoni Kapital dan Institusi: Pengunduran Diri SMI
Hegemoni institusi internasional ini yang digunakan USA dan negara barat (negara core) untuk melakukan kapitalisasi dan bahkan neokolonialisasi terhadap negara-negara berkembang dan miskin (periphery). Institusi kapital seperti World Bank dan IMF berusaha memanfaatkan hegemoni mereka, untuk melakukan akumulasi kapital dan neokolonialis. Mereka memanfaatkan hubungan struktural melalui pola dependensia hutang dan pinjaman kapital terhadap negara periphery. Bahkan dari aspek lain, seperti sumber daya alam dan manusia juga mengalami aliran alokasi dari negara periphery ke core melalui hegemoni lembaga kapital tersebut. Beberapa fenomena tersebut secara tidak langsung bertujuan untuk mengembalikan posisi upswing era bagi perekonomian negara core (terutama USA dan Eropa Barat).

Sekilas memang tampak begitu samar, namun aliran alokasi sumber daya manusia melalui hegemoni institusi telah terjadi terhadap negara kita (Indonesia). Pengunduran diri SMI dari posisi Menkeu dan beralih menjadi Managing Director World Bank, salah satu institusi pemegang hegemoni kapital internasional menjadi salah satu bukti nyata. Memang telah terjadi perbedaan pendapat atau pun persepsi tentang hal ini. Satu pihak menganggap bahwa pengunduran diri SMI merupakan sebuah langkah tepat dan bahkan membanggakan bagi bangsa kita. SMI yang selama 5 bulan terakhir menjadi “sasaran tembak” Pansus Century, dianggap telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ekonom handal dan mampu “melepaskan diri” dari permasalahan dengan elegan. Simpati ke SMI pun semakin bertambah manakala melihat performa dari anggota Pansus yang kurang elegan dan bahkan mengalami permasalahan kredibilitas internal. Secara garis besar banyak pihak yang merasa bangga dengan prestasi SMI yang dipilih menjadi Managing Director World Bank.

Namun di sisi lain, kebanggaan tersebut harus dikritisi dengan fenomena hegemoni institusi kapital di atas. SMI telah menjadi bagian dari sebuah pola struktural proses aliran sumber daya manusia dari negara berkembang (periphery) ke negara maju (core) yang direpresentasikan dengan World Bank. Banyak asumsi yang mendasari hal tersebut, seperti penciptaan pola dependensia versi baru (hutang dan pinjaman) dan bahkan sampai pada asumsi neokolonial. Posisi SMI di institusi World Bank diasumsikan dapat mempermudah pola dependensia negara kita dan beberapa negara periphery di Asia dan Afrika melalui pinjaman dan hutang luar negeri. Di sisi yang lain, cukup ironis, seorang anak bangsa lebih memilih menjadi pejabat institusi “mesin kapitalis dunia” daripada menjadi ekonom dan negarawan di negeri sendiri. Memang posisi Managing Director World Bank menawarkan sebuah eksistensi luar biasa dan tentunya rewards finansial yang menjanjikan. Tetapi di sisi lain harus bekerja sebagai agen proses hegemoni kapitalis yang berpotensi menciptakan neokolonial terhadap negara-negara periphery termasuk negara kita sendiri. Kemampuan sebagai ekonom dengan kapasitas keilmuan tinggi dapat menjadi tidak bernilai jika memilih menjadi agen untuk mendukung hegemoni negara kapitalis.

Simpulan sebuah catatan
Konstruksi tulisan ini mencoba memahami kembali tentang bagaimana melihat sesuatu sebaiknya dari beberapa perspektif. Kebanggaan dapat menjadi semu jika diawali dengan sebuah perspektif bahwa institusi internasional (World Bank dan IMF) adalah institusi “super” yang memiliki hegemoni dan harus dikagumi. Sebaliknya, jika melihat dari perspektif kritis tentunya tidak akan serta merta menyatakan sebuah kebanggaan namun justru menunjukkan “hal yang tragis”. Kedaulatan negara terhadap sumber dayanya telah berhasil dibeli oleh suatu hegemoni institusi internasional yang menjadi “mesin kapitalisme” dunia. Akhirnya, simpulan tulisan ini tidak akan menggiring opini atau bahkan "pembunuhan karakter", tulisan ini hanya memberikan tawaran pola pikir heterodoks secara sederhana terhadap suatu fenomena.

*) Ditulis oleh Bhimo R Samudro
Staf Pengajar FE UNS dan peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)
Salah satu deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Simpatisan dari Union for Radical Political Economic (URPE)

No comments:

Post a Comment