Kritik sederhana ini akhirnya “terpaksa” tertuang dalam bentuk uraian tulisan setelah selama beberapa hari ini pikir dan jiwa tercekat oleh pendapat dari seorang Indonesianist (ahli tentang Indonesia) ternama. Sang Indonesianist kawakan dari Universitas Ohio (kita sebut saja dia Bill Ohio) itu menyampaikan pendapat yang agak mengusik ketenangan para pemikir progressive ekonomi politik. Dalam sebuah orasi ilmiah di sebuah universitas swasta di Jakarta, dia berpendapat bahwa pemerataan perkembangan sumber daya politik seharusnya didukung dengan iklim demokrasi total yang bermutu.
Lebih lanjut, Bill Ohio menghubungkan demokrasi yang murni dengan ekonomi kapitalis dan pasar bebas. Sang professor politik ini melihat bahwa ekonomi kapitalis seharusnya berperan sebagai penyangga demokrasi total. Namun, dia juga melihat bahwa peran ekonomi kapitalis yang tidak optimal membangun demokrasi. Sampai pada bahasan ini, Bill pun mulai berpendapat bahwa peran kelas borjuis yang muncul secara natural dalam ekonomi kapitalis sebagai penyangga demokrasi puritan (murni). Bahkan Bill pun dengan lantang “menyalahkan” peran Marx yang notabene menjadi pengkritik utama kapitalisme. Dalam perspektifnya, Marx dianggap menyepelekan kelas borjuis yang seharusnya bisa berperan sebagai sumber daya politik dalam demokrasi.
Untuk menguatkan perspektifnya, Bill pun mengandalkan Niccolo Machiavelli filsuf politik Italia yang mengarahkan individu sebagai fokus utama ideologi. Individualism kelas borjuis yang mandiri diilhami semangat Machiavellist dianggap mampu untuk menciptakan dan memanfaatkan sumber daya politik di alam demokrasi puritan. Oleh Bill, Machiavelli dianggap lebih berperan mewarnai perkembangan era globalisasi dan neoliberalisasi dibandingkan dengan Marx.
Di titik inilah kemudian penulis menjadi terusik untuk menyusun kritik imajiner terhadap pendapat Bill Ohio yang cenderung mengalami bias posisi dalam meta-analisa. Bahkan apabila dilihat dari perspektif ekonomi-politik institusional yang progressive, alur pikir Bill terlihat seperti mengalami lompatan-lompatan ide yang tidak terstruktur dan cenderung “memaksakan” pendengar orasinya untuk terjebak dalam kontemplasi pikiran semu. Cukup mengherankan, Bill sang professor ini seperti terkungkung oleh perspektif anti-realita dalam menganalisa ekonomi-politik global.
Memang sesungguhnya bukan kelas penulis untuk mengkritik, tapi tulisan sederhana ini mewakili ideologi, sikap dan otak yang tidak kuasa untuk tidak mempertanyakan perspektif Bill Ohio. Ada tiga poin utama kritik penulis terhadap Bill:
1. Bill membandingkan peran Marx dan Machiavelli dalam kapitalisme pasar global. Dari perspektif penulis, perbandingan ala Bill ini semestinya dijelaskan ranah dan aspeknya. Andaikan Bill mengatakan bahwa Machiavelli lebih berperan dalam era globalisasi dibandingkan Marx, jelas ini salah kaprah dan lemah asumsinya. Penulis melihat Marx sebagai ahli ekonomi-politik besar di kala mudanya (dikenal sebagai pemikiran Marx muda) dan lebih cenderung memunculkan ide filosofis di kala tua (pemikiran Marx tua). Marx melakukan konstruksi pemikiran untuk mengkritik kapitalisme, termasuk mengkritik kemunculan kelas borjuis. Bahkan kritik Marx masih relevan terhadap kapitalisme di era globalisasi. Di sisi lain, ideologi individualism ala Machiavelli, menurut Bill, adalah tiang penyangga kemunculan kelas borjuis mandiri di kapitalisme untuk mendukung demokrasi.
Dalam hal ini jelas kurang relevan membandingkan siapa lebih berperan dibandingkan siapa. Jika ranahnya adalah ekonomi-politik, Marx akan lebih berperan secara teknis dalam mengkritik kapitalisme global. Sebagai contoh, Teori Tingkat Profit yang menurun di jangka panjang terjadi pada kapitalisme global. Tingkat profit Transnational Corporation Company (TNCs) di USA (negara kapitalis) menurun di era globalisasi 1970s-2000s,sebagai bukti kemunduran (Gordon 1980, Gordon, Bowles, Weisskopf 1983, O’Hara 2006). Filosofi Marx tentang akumulasi kapital yang akan mereduksi sistem relasi sosial terbukti melalui fondasi kritik hubungan kapital dan lingkungan alam dari Karl William Kapp. Disamping melanjutkan filosofi Marx,Kapp juga mengadopsi pemikiran Karl Polanyi tentang fictitious commodity,yang intinya mengingatkan akan bahaya mengkapitalisasi sumber daya alam. Dari dua contoh pemikiran Marx ini, jelas peran Marx cukup dominan sebagai kritikus kapitalisme. Sementara Machiavelli yang dianggap Bill sebagai aktor dominan demokrasi di era globalisasi via kelas borjuis mandiri, telah menanamkan pola individualis yang cenderung destruktif. Percuma saja demokrasi puritan, tapi individualis borjuis berkembang untuk mengkapitalisasi umat manusia. Inikah maksud Bill sebagai peran Machiavelli?
2. Bill hanya melihat dari perspektif politik untuk mengkaitkan peran politik dalam ekonomi global. Ini sangat sempit dan sangat mengagetkan bahwa hal ini keluar dari orasi seorang ilmuwan sekelas Bill. Penulis dengan kerendahan hati mengajak untuk berpikir dengan perspektif institusional ekonomi-politik progressive. Penulis akan memakai “senjata” analisis gelombang panjang (Kondratieff 1935, Gordon 1980, Lippit 2007, Kotz 2008, O’Hara 2006, 2008)perkembangan kapitalisme global untuk melihat kadar kebenaran pendapat Bill. Mungkin benar demokrasi via indikator Political Right dan Civil Liberties meningkat secara global dan dominan di negara kapitalis dalam kurun 1970s-2000s (Freedom House 2010). Namun analisis “gelombang panjang” melihat bahwa secara institutional kapitalisme global telah mempengaruhi kondisi sosio-ekonomi masyarakat. Pertumbuhan GDP per kapita di negara kapitalis (Amerika Utara, Eropa Barat dan Australia-New Zealand) berada di bawah 2.5 persen ketika memasuki era neoliberal di pertengahan 1970s sampai dekade 2000s (O’Hara 2008, Samudro 2011). Realita dari data ini hendaknya dipahami dengan sudut pandang ekonomi-politik progressive, bukan dalam perspektif neo-klasik. Dalam hal ini, ide Marx dalam penekanan historis specificity tercermin dalam analisis gelombang panjang. Demokrasi memang meningkat tapi reduksi performa sosio-ekonomi terjadi. Apa ini yang diinginkan oleh Bill lewat Machiavelli-nya?
3. Poin terakhir dalam kritik terhadap perspektif Bill lebih menekankan pada beberapa kontradiksi dalam era globalisasi atau yang dikatakan Bill sebagai penyangga demokrasi puritan dan bermutu. Bill tampaknya mulai lupa seiring usianya. Penulis mencoba mengingatkan bahwa 4 kali resesi ekonomi (pertengahan 1970s, awal 1980s, awal 1990s dan awal 2000s dan 2 krisis finansial (akhir 1990s dan akhir 2000s) terjadi di alam serba demokrasi dan neoliberalisasi antara 1970s sampai sekarang. Mungkin Bill benar bahwa demokrasi bermutu didukung kapitalisme pasar dan kelas borjuis, namun kontradiksi antara sektor finansial dan industri terjadi secara bersamaan di era 1970s-2000s akibat dari ide privatisasi (yang sebenarnya penjelmaan ide individualis ala Machiavelli). Di negara kapitalis, sektor finansial dominan dibandingkan industri sehingga profit dan produktivitas kapital menurun sehingga upah buruh juga menurun. Rendahnya produktivitas industri akan mempengaruhi net-export menjadi negatif, akibatnya capital inflow dan import dominan. Sebagai contoh, kasus sub-prime mortgage mengakibatkan collapse-nya industri mobil di USA (krisis finansial). Sekali lagi, apa ini yang dicita-citakan Bill sebagai dampak demokrasi bermutu?
Berdasarkan uraian tersebut, penulis secara sederhana mencoba melihat dari perspektif berbeda untuk mengkritik pendapat Bill dalam orasi ilmiahnya. Kritik yang dibuat secara ekletik, ilmiah dan simpatik sehingga menjadi bagian kontemplasi jiwa dan otak. Dengan segala kerendahan hati, tulisan kritik imajiner ini mungkin tidak akan tersampaikan karena hanya ide kecil dari “seniman jalanan ekonomi-politik Indonesia”. Namun setidaknya mewarnai segenap jiwa pemikir yang tertarik dengan ekonomi politik progressive dan heterodox untuk menunggu di simpang kiri jalan masa depan.
Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro (Dosen dan Peneliti Ekonomi Politik FE UNS)
Sebagai Catatan ke-9 Baros Social Reform Institute (BSRI)Surakarta
Tuesday, December 20, 2011
Tuesday, August 17, 2010
Ketika Indonesia Memanggil: Catatan Dibalik Perjanjian Renville 1948
Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia masih mengalami berbagai gangguan terhadap eksistensi dan kedaulatannya. Agresi militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947 memaksa bangsa Indonesia untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah 2 tahun diproklamasikan. Pertempuran antara Belanda melawan laskar dan tentara Indonesia yang tidak kunjung mereda telah memicu Amerika Serikat untuk melakukan intervensi. Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang memperoleh kemenangan pasca Perang Dunia (PD) II merasa bahwa Indonesia adalah wilayah strategis yang potensial untuk dimanfaatkan. Hal ini dapat dimengerti karena iklim politik pasca PD II mulai diwarnai Perang Dingin antara Amerika Serikat (blok Barat) dan Uni Soviet (blok Timur). Intervensi Amerika Serikat (AS) terhadap posisi Indonesia diwujudkan dalam prakarsa negara tersebut menyelenggarakan Perjanjian Renville. Sebuah perundingan di atas kapal USS Renville di teluk Jakarta pada 17 Januari 1948. Perundingan ini melibatkan beberapa negara lain, disamping tentunya Indonesia dan Belanda sebagai negara yang berseteru. Amerika Serikat memprakarsai pembentukan komisi yang berperan sebagai penengah, dimana komisi ini dikenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri dari Australia, Belgia dan Amerika Serikat sendiri.
Indonesia-Australia dalam Renville 1948
Delegasi Indonesia dalam perundingan Renville dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifoedin dan Wakil Ketua Ali Sastroamidjojo, dengan beberapa anggota antara lain Sutan Sahrir, Mr. Nasroen, Ir Djuanda dan Dr Tjoa Siek Ien. Indonesia memilih Australia sebagai rekanan dalam perundingan tersebut. Sementara itu delegasi Belanda dipimpin oleh oleh Abdulkadir Wiryoatmodjo dan wakil ketua H.K.L.F van Vredenburgh, lebih memilih negara tetangganya Belgia sebagai rekanan. AS yang bertindak sebagai negara penengah, lebih berperan sebagai pemimpin komisi perundingan. Frank Porter Graham sebagai ketua komisi yang berasal dari AS, sejak semula berusaha menekankan beberapa konsesi agar Indonesia bersikap lunak kepada Belanda. Dari poin ini, nampak bahwa AS berusaha menerapkan “the policy of containment” dalam rangka membendung pengaruh Blok Timur. Terlepas dari pengaruh politik AS dalam perjanjian Renville dan KTN, terdapat poin lain yang cukup menarik dimana Australia berperan sebagai rekanan Indonesia dalam perundingan tersebut. Hal ini menjadi terlihat tidak lazim karena notabene Australia adalah negara persemakmuran di bawah kolonisasi Inggris. Inggris selama PD II adalah salah satu sekutu AS yang cukup dekat. Kemudian muncul pertanyaan, “apakah berperannya Australia menjadi rekanan Indonesia dalam Renville hanya semata merupakan pengaruh eksternal AS?” “Ataukah memang ada pengaruh internal dari dalam negeri Australia sendiri ketika itu?”
Antara Australian Labor Party (ALP) dan Perjanjian Renville
Peranan Australia sebagai rekanan Indonesia dalam perundingan Renville sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh lobi eksternal dari AS, melainkan juga adanya peranan internal dari pemerintah Australia sendiri. Pada dekade 1940-an, pemerintah Australia didominasi oleh Partai Buruh Australia (Australian Labor Party/ALP) yang notabene juga dominan dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri negara tersebut. Sebenarnya arah kebijakan ALP juga tidak secara tegas akan langsung menjadi rekanan Indonesia pada saat Indonesia sedang mengalami konflik dengan Belanda. Para pimpinan ALP waktu itu lebih memilih “jalan aman” dengan mengikuti kebijakan AS yang dominan pasca PD II. Namun yang cukup penting untuk dicermati adalah adanya tekanan yang datang dari simpatisan partai (ALP) yang meminta agar ALP mempengaruhi pemerintah Australia secara umum untuk menjadi rekanan Indonesia dalam perundingan Renville. Memang tidak terdapat keterangan yang jelas tentang motif dibalik dorongan simpatisan ALP agar pemerintah Australia menjadi rekanan Indonesia. Beberapa hipotesa kemudian muncul, dimana pada saat yang sama Indonesia juga dipimpin Perdana Menteri Amir Syarifoedin yang notabene seorang sosialis. Hipotesa pertama ini memang diperkuat dengan adanya Sutan Sahrir dalam delegasi Indonesia. Sutan Sahrir meskipun memiliki aliran yang agak berbeda dengan Amir, namun pemikirannya juga berbasis pada sosialis. Di sisi lain, hipotesa pertama ini masih memiliki kelemahan karena secara umum peranan Australia kurang dapat dirasakan dalam hasil perjanjian Renville. Salah satu hasil perjanjian yang menyatakan bahwa Belanda hanya mengakui kedaulatan Indonesia di wilayah Sumatra, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dengan demikian justru wilayah kedaulatan Indonesia menjadi lebih sempit dari sebelumnya. Hasil ini pula yang menjatuhkan kredibilitas kabinet Amir Syarifoedin di depan parlemen dan di mata para pejuang kemerdekaan Indonesia ketika itu. Hipotesa lain yang muncul adalah motif pemerintah Australia untuk memerlukan Indonesia sebagai rekanan secara geo-politik dan geo-ekonomi. Posisi Indonesia yang berada di utara Australia memang berperan sebagai “barrier” geo-politik dalam menghadapi Perang Dingin. Di tambah lagi posisi Indonesia yang sangat potensial dari sudut pandang geo-ekonomi, mendorong Australia untuk memperkuat kerjasama internasional dengan Indonesia. Hipotesa kedua ini memang lebih logis dibandingkan dengan hipotesa yang pertama. Bahkan di era Orde Baru, Australia melakukan beberapa manuver yang lebih cenderung dapat dikatakan sebagai intervensi terutama dalam permasalahan Selat Timor dan bahkan dalam terlepasnya Timor-Timur dari wilayah Indonesia. Namun terlepas dari beberapa kasus tersebut, terdapat beberapa bukti menarik dari masyarakat Australia sendiri, yang justru lebih memperkuat hipotesa pertama.
Indonesian Calling: Ketika Buruh Australia Menolak Belanda
Bukti menarik yang memperkuat hipotesa pertama diperoleh dari sebuah film dokumenter Australia berjudul “Indonesian Calling” karya Joris Ivens. Film ini melakukan dokumentasi tentang beberapa bukti yang menunjukkan bahwa buruh Australia (yang notabene) adalah simpatisan ALP melakukan penolakan terhadap beberapa kapal Belanda yang kebetulan berlabuh di beberapa pelabuhan pantai barat (Western Australia). Kapal-kapal Belanda yang berisi amunisi dan senjata berlabuh dahulu di pantai barat Australia sebelum melakukan agresi ke Indonesia. Dalam film tersebut, dideskripsikan bahwa buruh-buruh pelabuhan (seamen and waterside workers) pantai barat Australia menolak kehadiran kapal-kapal Belanda tersebut. Film dokumenter ini nampaknya menjadi bukti adanya tekanan internal simpatisan ALP kepada pemerintah Australia (yang ketika didominasi ALP) agar besedia menjadi rekanan Indonesia di perundingan Renville. Bahkan di akhir film dokumenter itu terdapat kata-kata:…”in the name of Indonesian people, workers and labor in Australia refuse the Dutch ships….”.
Simpulan sebuah catatan
Simpulan dari catatan ini bukan akan membuat pernyataan tentang hipotesa mana yang benar terhadap peran Australia sebagai rekanan Indonesia dalam perjanjian Renville. Bukan juga untuk mengarahkan kepada kesimpulan bahwa Australia telah berjasa dalam politik luar negeri dan kemerdekaan Indonesia. Namun lebih pada telaah historis dan holistik tentang pergerakan buruh (sebagai sebuah causa) dapat menciptakan akumulasi yang berdampak pada hubungan diplomatik antar negara. Penulis mungkin belum melakukan observasi lebih lanjut tentang keterkaitan langsung para pejuang dan pemimpin Indonesia ketika itu dengan para pemimpin ALP. Memang menarik lebih lanjut untuk melakukan observasi tentang posisi geografis Indonesia yang terletak di antara dua negara persemakmuran Inggris, yaitu Australia di selatan dan Malaysia di utara. Malaysia yang notabene memiliki rumpun suku bangsa sama dengan Indonesia, justru relatif sering mengalami konflik dengan Indonesia. Apalagi presiden Soekarno ketika itu sampai mengeluarkan Dwikora dan memobilisasi pemuda-rakyat untuk melawan Malaysia. Di sisi lain, meskipun pernah mengalami hubungan yang memburuk akibat kasus Timor-Timur dan juga Bom Bali I dan II, ternyata rakyat (buruh dan pekerja) di Australia memiliki hubungan “emosional” dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia ketika itu. Sekali lagi, memang masih perlu observasi panjang dengan narasumber yang relevan untuk menguji hal tersebut. Namun gambaran umum tentang “panggilan” kemerdekaan Indonesia, perjanjian Renville dan akumulasi gerakan buruh di Australia dalam catatan sederhana ini setidaknya dapat menjadi bahan diskusi.
Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro sebagai Catatan VIII Baros Social Reform Institute (BSRI)
Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)dan salah deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Penulis berterimakasih pada beberapa aktivis ALP atas masukannya dalam diskusi
Indonesia-Australia dalam Renville 1948
Delegasi Indonesia dalam perundingan Renville dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifoedin dan Wakil Ketua Ali Sastroamidjojo, dengan beberapa anggota antara lain Sutan Sahrir, Mr. Nasroen, Ir Djuanda dan Dr Tjoa Siek Ien. Indonesia memilih Australia sebagai rekanan dalam perundingan tersebut. Sementara itu delegasi Belanda dipimpin oleh oleh Abdulkadir Wiryoatmodjo dan wakil ketua H.K.L.F van Vredenburgh, lebih memilih negara tetangganya Belgia sebagai rekanan. AS yang bertindak sebagai negara penengah, lebih berperan sebagai pemimpin komisi perundingan. Frank Porter Graham sebagai ketua komisi yang berasal dari AS, sejak semula berusaha menekankan beberapa konsesi agar Indonesia bersikap lunak kepada Belanda. Dari poin ini, nampak bahwa AS berusaha menerapkan “the policy of containment” dalam rangka membendung pengaruh Blok Timur. Terlepas dari pengaruh politik AS dalam perjanjian Renville dan KTN, terdapat poin lain yang cukup menarik dimana Australia berperan sebagai rekanan Indonesia dalam perundingan tersebut. Hal ini menjadi terlihat tidak lazim karena notabene Australia adalah negara persemakmuran di bawah kolonisasi Inggris. Inggris selama PD II adalah salah satu sekutu AS yang cukup dekat. Kemudian muncul pertanyaan, “apakah berperannya Australia menjadi rekanan Indonesia dalam Renville hanya semata merupakan pengaruh eksternal AS?” “Ataukah memang ada pengaruh internal dari dalam negeri Australia sendiri ketika itu?”
Antara Australian Labor Party (ALP) dan Perjanjian Renville
Peranan Australia sebagai rekanan Indonesia dalam perundingan Renville sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh lobi eksternal dari AS, melainkan juga adanya peranan internal dari pemerintah Australia sendiri. Pada dekade 1940-an, pemerintah Australia didominasi oleh Partai Buruh Australia (Australian Labor Party/ALP) yang notabene juga dominan dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri negara tersebut. Sebenarnya arah kebijakan ALP juga tidak secara tegas akan langsung menjadi rekanan Indonesia pada saat Indonesia sedang mengalami konflik dengan Belanda. Para pimpinan ALP waktu itu lebih memilih “jalan aman” dengan mengikuti kebijakan AS yang dominan pasca PD II. Namun yang cukup penting untuk dicermati adalah adanya tekanan yang datang dari simpatisan partai (ALP) yang meminta agar ALP mempengaruhi pemerintah Australia secara umum untuk menjadi rekanan Indonesia dalam perundingan Renville. Memang tidak terdapat keterangan yang jelas tentang motif dibalik dorongan simpatisan ALP agar pemerintah Australia menjadi rekanan Indonesia. Beberapa hipotesa kemudian muncul, dimana pada saat yang sama Indonesia juga dipimpin Perdana Menteri Amir Syarifoedin yang notabene seorang sosialis. Hipotesa pertama ini memang diperkuat dengan adanya Sutan Sahrir dalam delegasi Indonesia. Sutan Sahrir meskipun memiliki aliran yang agak berbeda dengan Amir, namun pemikirannya juga berbasis pada sosialis. Di sisi lain, hipotesa pertama ini masih memiliki kelemahan karena secara umum peranan Australia kurang dapat dirasakan dalam hasil perjanjian Renville. Salah satu hasil perjanjian yang menyatakan bahwa Belanda hanya mengakui kedaulatan Indonesia di wilayah Sumatra, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dengan demikian justru wilayah kedaulatan Indonesia menjadi lebih sempit dari sebelumnya. Hasil ini pula yang menjatuhkan kredibilitas kabinet Amir Syarifoedin di depan parlemen dan di mata para pejuang kemerdekaan Indonesia ketika itu. Hipotesa lain yang muncul adalah motif pemerintah Australia untuk memerlukan Indonesia sebagai rekanan secara geo-politik dan geo-ekonomi. Posisi Indonesia yang berada di utara Australia memang berperan sebagai “barrier” geo-politik dalam menghadapi Perang Dingin. Di tambah lagi posisi Indonesia yang sangat potensial dari sudut pandang geo-ekonomi, mendorong Australia untuk memperkuat kerjasama internasional dengan Indonesia. Hipotesa kedua ini memang lebih logis dibandingkan dengan hipotesa yang pertama. Bahkan di era Orde Baru, Australia melakukan beberapa manuver yang lebih cenderung dapat dikatakan sebagai intervensi terutama dalam permasalahan Selat Timor dan bahkan dalam terlepasnya Timor-Timur dari wilayah Indonesia. Namun terlepas dari beberapa kasus tersebut, terdapat beberapa bukti menarik dari masyarakat Australia sendiri, yang justru lebih memperkuat hipotesa pertama.
Indonesian Calling: Ketika Buruh Australia Menolak Belanda
Bukti menarik yang memperkuat hipotesa pertama diperoleh dari sebuah film dokumenter Australia berjudul “Indonesian Calling” karya Joris Ivens. Film ini melakukan dokumentasi tentang beberapa bukti yang menunjukkan bahwa buruh Australia (yang notabene) adalah simpatisan ALP melakukan penolakan terhadap beberapa kapal Belanda yang kebetulan berlabuh di beberapa pelabuhan pantai barat (Western Australia). Kapal-kapal Belanda yang berisi amunisi dan senjata berlabuh dahulu di pantai barat Australia sebelum melakukan agresi ke Indonesia. Dalam film tersebut, dideskripsikan bahwa buruh-buruh pelabuhan (seamen and waterside workers) pantai barat Australia menolak kehadiran kapal-kapal Belanda tersebut. Film dokumenter ini nampaknya menjadi bukti adanya tekanan internal simpatisan ALP kepada pemerintah Australia (yang ketika didominasi ALP) agar besedia menjadi rekanan Indonesia di perundingan Renville. Bahkan di akhir film dokumenter itu terdapat kata-kata:…”in the name of Indonesian people, workers and labor in Australia refuse the Dutch ships….”.
Simpulan sebuah catatan
Simpulan dari catatan ini bukan akan membuat pernyataan tentang hipotesa mana yang benar terhadap peran Australia sebagai rekanan Indonesia dalam perjanjian Renville. Bukan juga untuk mengarahkan kepada kesimpulan bahwa Australia telah berjasa dalam politik luar negeri dan kemerdekaan Indonesia. Namun lebih pada telaah historis dan holistik tentang pergerakan buruh (sebagai sebuah causa) dapat menciptakan akumulasi yang berdampak pada hubungan diplomatik antar negara. Penulis mungkin belum melakukan observasi lebih lanjut tentang keterkaitan langsung para pejuang dan pemimpin Indonesia ketika itu dengan para pemimpin ALP. Memang menarik lebih lanjut untuk melakukan observasi tentang posisi geografis Indonesia yang terletak di antara dua negara persemakmuran Inggris, yaitu Australia di selatan dan Malaysia di utara. Malaysia yang notabene memiliki rumpun suku bangsa sama dengan Indonesia, justru relatif sering mengalami konflik dengan Indonesia. Apalagi presiden Soekarno ketika itu sampai mengeluarkan Dwikora dan memobilisasi pemuda-rakyat untuk melawan Malaysia. Di sisi lain, meskipun pernah mengalami hubungan yang memburuk akibat kasus Timor-Timur dan juga Bom Bali I dan II, ternyata rakyat (buruh dan pekerja) di Australia memiliki hubungan “emosional” dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia ketika itu. Sekali lagi, memang masih perlu observasi panjang dengan narasumber yang relevan untuk menguji hal tersebut. Namun gambaran umum tentang “panggilan” kemerdekaan Indonesia, perjanjian Renville dan akumulasi gerakan buruh di Australia dalam catatan sederhana ini setidaknya dapat menjadi bahan diskusi.
Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro sebagai Catatan VIII Baros Social Reform Institute (BSRI)
Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)dan salah deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Penulis berterimakasih pada beberapa aktivis ALP atas masukannya dalam diskusi
Saturday, June 26, 2010
Mundurnya Kevin Rudd dan Akumulasi Struktur Sosial
Hari Kamis 24 Juni 2010 lalu, Perdana Menteri (PM) Australia, Kevin Rudd resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Rudd secara resmi digantikan Julia Gillard, salah satu deputi-nya di Australian Labor Party (ALP). Indikasi penurunan popularitas Rudd sebenarnya dimulai pada bulan Desember 2009 lalu, dimana Rudd di depan parlemen, tidak berhasil meloloskan Undang-undang Perdagangan Emisi Karbon dan menundanya untuk 2-3 tahun ke depan. Kegagalan ini masih ditambah dengan perseteruan Rudd dengan banyak perusahaan pertambangan di Australia sehubungan dengan rencananya menerapkan super-tax sebesar 40% terhadap profit perusahaan pertambangan yang ada.
Berbicara tentang beberapa kebijakan Rudd yang gagal terlaksana atau pun banyak ditentang sektor industri, menunjukkan banyak kalangan di Australia yang kurang menyadari akan adanya akumulasi struktur sosial yang sedang terjadi. Jika kita mengarahkan analisis ke beberapa kebijakan yang dikeluarkan Rudd, sebenarnya dapat dilihat bahwa kebijakannya diindikasikan dapat meredam beberapa pemicu adanya akumulasi struktur sosial. Dari perspektif ekonomi politik, akumulasi struktur sosial dapat terjadi karena beberapa kontradiksi sosial terjadi secara terstruktur dalam jangka waktu tertentu sehingga memicu adanya akumulasi perubahan dalam sistem sosial di masyarakat.
Kontradiksi dan Struktur Sosial
Secara spesifik, proses mundurnya Rudd dapat dikaitkan dengan beberapa analisis sederhana dalam perspektif akumulasi struktur sosial di atas. Untuk lebih mudahnya, kita melihat dari kebijakan Perdagangan Emisi Karbon yang tertunda, dari poin ini Rudd berusaha untuk menekan kontradiksi antara capital vs environment. Jika kebijakan ini berhasil, beberapa perusahaan industri pelaku polusi terbesar di Australia (khususnya di pertambangan) harus membayar pajak emisi yang tinggi. Namun akhirnya kebijakan ini ditolak parlemen dan harus ditunda. Nampaknya parlemen negeri kangguru ini mengabaikan adanya kontradiksi tersebut dan berpikir jangka pendek. Padahal pajak emisi yang masuk dapat menambah kas negara sekaligus mengurangi dampak emisi karbon.
Langkah Rudd yang kedua, menetapkan kebijakan super-tax sebesar 40% terhadap profit juga mendapatkan tentangan dari industri pertambangan. Nampaknya, Rudd sebenarnya berharap memperkuat sektor finansial dengan adanya pemasukan dari pajak. Krisis sektor finansial di negeri kangguru diprediksi juga karena adanya ketidakseimbangan antara sektor finansial dan industri. Dari sini, secara sederhana, dapat dibaca bahwa Rudd akan menekan kontradiksi antara finance vs industry. Kembali di sini, publik juga mengabaikan potensi perubahan struktur sosial akan terjadi. Bayangkan beberapa fenomena yang ada di Australia, tingkat upah buruh yang tinggi di sektor industri melebihi gaji pegawai atau bahkan tenaga edukatif. Akibatnya mulai banyak orang memilih bekerja menjadi buruh di sektor industri daripada di sektor lain. Pertimbangannya jelas, investasi pendidikan yang tidak perlu tinggi, namun dapat kesempatan bekerja dengan gaji lebih tinggi. Sebagai contoh sederhana, peminat untuk melanjutkan studi post-graduate (pascasarjana) lebih didominasi oleh orang asing, sementara warga negara setempat lebih memilih langsung bekerja pasca SMA (melalui TAFE training-setara D1) atau pun hanya cukup undergraduate (S1). Banyak juga terjadi eksodus antar sektor dan bahkan imigran asing yang akan bekerja sebagai buruh di sektor industri juga semakin banyak. Secara ideologis memang Rudd dikenal ”kiri” dan ”pro-labor”, namun dia tampaknya juga melihat ketimpangan antar sektor ini sehingga mengharuskannya membuat kebijakan yang ”mungkin tidak populer” di mata publik.
Gillard yang Konservatif
Dari kontradiksi struktur sosial, kita beralih untuk berbicara tentang prospek penggantinya yang agaknya dapat membuat pesimis ”para pemikir progresif”. Julia Gillard memang adalah kolega sekaligus deputi Rudd di ALP, tetapi beberapa langkahnya cenderung konservatif, terutama tentang hak buruh di tempat kerja dan masalah pengungsi. Baru 2 hari menjabat PM, sudah terjadi demonstrasi menentang Gillard, terutama terhadap kebijakan Gillard tentang pengungsi. Di samping itu, Gillard diprediksi juga akan ”berdamai” dengan sektor industri pertambangan sekaligus tetap menunda undang-undang emisi karbon. Namun naiknya Gillard juga diprediksi sebagai ”pencitraan kembali” ALP di mata publik untuk mendapatkan simpati pada saat pemilu nanti. Dia dianggap sebagai orang ALP yang bernuansa liberal dalam kebijakan luar negeri.
Simpulan sebuah catatan
Dari catatan ini, sebenarnya ada yang dapat kita transformasikan untuk melihat ke negeri kita Indonesia. Akumulasi struktur sosial yang terjadi mungkin disadari namun tampaknya masih menjadi sesuatu yang ”tidak penting untuk dibahas” karena lebih menyenangkan membahas hegemoni, interest dan capital. Memang hal ini adalah pilihan yang sangat manusiawi. Namun di balik itu, penulis memprediksi ada 4-5 tipe kontradiksi dalam akumulasi struktur sosial yang akan dan sedang terjadi di Indonesia. Jumlah yang cukup banyak untuk dianalisis bagi ”para pemikir mainstream”, tetapi suatu tantangan menarik bagi ”para pemikir progresif” untuk membahasnya dengan kritis. Semoga.
Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro
Penulis adalah Dosen FE UNS, Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)dan
Deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Berbicara tentang beberapa kebijakan Rudd yang gagal terlaksana atau pun banyak ditentang sektor industri, menunjukkan banyak kalangan di Australia yang kurang menyadari akan adanya akumulasi struktur sosial yang sedang terjadi. Jika kita mengarahkan analisis ke beberapa kebijakan yang dikeluarkan Rudd, sebenarnya dapat dilihat bahwa kebijakannya diindikasikan dapat meredam beberapa pemicu adanya akumulasi struktur sosial. Dari perspektif ekonomi politik, akumulasi struktur sosial dapat terjadi karena beberapa kontradiksi sosial terjadi secara terstruktur dalam jangka waktu tertentu sehingga memicu adanya akumulasi perubahan dalam sistem sosial di masyarakat.
Kontradiksi dan Struktur Sosial
Secara spesifik, proses mundurnya Rudd dapat dikaitkan dengan beberapa analisis sederhana dalam perspektif akumulasi struktur sosial di atas. Untuk lebih mudahnya, kita melihat dari kebijakan Perdagangan Emisi Karbon yang tertunda, dari poin ini Rudd berusaha untuk menekan kontradiksi antara capital vs environment. Jika kebijakan ini berhasil, beberapa perusahaan industri pelaku polusi terbesar di Australia (khususnya di pertambangan) harus membayar pajak emisi yang tinggi. Namun akhirnya kebijakan ini ditolak parlemen dan harus ditunda. Nampaknya parlemen negeri kangguru ini mengabaikan adanya kontradiksi tersebut dan berpikir jangka pendek. Padahal pajak emisi yang masuk dapat menambah kas negara sekaligus mengurangi dampak emisi karbon.
Langkah Rudd yang kedua, menetapkan kebijakan super-tax sebesar 40% terhadap profit juga mendapatkan tentangan dari industri pertambangan. Nampaknya, Rudd sebenarnya berharap memperkuat sektor finansial dengan adanya pemasukan dari pajak. Krisis sektor finansial di negeri kangguru diprediksi juga karena adanya ketidakseimbangan antara sektor finansial dan industri. Dari sini, secara sederhana, dapat dibaca bahwa Rudd akan menekan kontradiksi antara finance vs industry. Kembali di sini, publik juga mengabaikan potensi perubahan struktur sosial akan terjadi. Bayangkan beberapa fenomena yang ada di Australia, tingkat upah buruh yang tinggi di sektor industri melebihi gaji pegawai atau bahkan tenaga edukatif. Akibatnya mulai banyak orang memilih bekerja menjadi buruh di sektor industri daripada di sektor lain. Pertimbangannya jelas, investasi pendidikan yang tidak perlu tinggi, namun dapat kesempatan bekerja dengan gaji lebih tinggi. Sebagai contoh sederhana, peminat untuk melanjutkan studi post-graduate (pascasarjana) lebih didominasi oleh orang asing, sementara warga negara setempat lebih memilih langsung bekerja pasca SMA (melalui TAFE training-setara D1) atau pun hanya cukup undergraduate (S1). Banyak juga terjadi eksodus antar sektor dan bahkan imigran asing yang akan bekerja sebagai buruh di sektor industri juga semakin banyak. Secara ideologis memang Rudd dikenal ”kiri” dan ”pro-labor”, namun dia tampaknya juga melihat ketimpangan antar sektor ini sehingga mengharuskannya membuat kebijakan yang ”mungkin tidak populer” di mata publik.
Gillard yang Konservatif
Dari kontradiksi struktur sosial, kita beralih untuk berbicara tentang prospek penggantinya yang agaknya dapat membuat pesimis ”para pemikir progresif”. Julia Gillard memang adalah kolega sekaligus deputi Rudd di ALP, tetapi beberapa langkahnya cenderung konservatif, terutama tentang hak buruh di tempat kerja dan masalah pengungsi. Baru 2 hari menjabat PM, sudah terjadi demonstrasi menentang Gillard, terutama terhadap kebijakan Gillard tentang pengungsi. Di samping itu, Gillard diprediksi juga akan ”berdamai” dengan sektor industri pertambangan sekaligus tetap menunda undang-undang emisi karbon. Namun naiknya Gillard juga diprediksi sebagai ”pencitraan kembali” ALP di mata publik untuk mendapatkan simpati pada saat pemilu nanti. Dia dianggap sebagai orang ALP yang bernuansa liberal dalam kebijakan luar negeri.
Simpulan sebuah catatan
Dari catatan ini, sebenarnya ada yang dapat kita transformasikan untuk melihat ke negeri kita Indonesia. Akumulasi struktur sosial yang terjadi mungkin disadari namun tampaknya masih menjadi sesuatu yang ”tidak penting untuk dibahas” karena lebih menyenangkan membahas hegemoni, interest dan capital. Memang hal ini adalah pilihan yang sangat manusiawi. Namun di balik itu, penulis memprediksi ada 4-5 tipe kontradiksi dalam akumulasi struktur sosial yang akan dan sedang terjadi di Indonesia. Jumlah yang cukup banyak untuk dianalisis bagi ”para pemikir mainstream”, tetapi suatu tantangan menarik bagi ”para pemikir progresif” untuk membahasnya dengan kritis. Semoga.
Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro
Penulis adalah Dosen FE UNS, Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)dan
Deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Wednesday, May 5, 2010
Mengkritisi Suatu Kebanggaan Semu
Mencoba berpikir objektif dan kritis diperlukan dalam memahami mundurnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI). Rencana pengunduran diri SMI dari kabinet untuk menjabat Managing Director World Bank, merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dicerna secara kritis. Sikap kritis itu diperlukan untuk mencegah adanya persepsi yang bias yang berujung pada ketidaktahuan terhadap motif dari suatu peristiwa.Persepsi yang bias atau barangkali sengaja dibiaskan seringkali terjadi jika kita tidak berusaha untuk berpikir kritis terutama terhadap berbagai bentuk infiltrasi hegemoni kapitalis dan neoliberalisme bahkan neokolonialisme.
Sekilas Historis Neoliberalisme
Angus Maddison (2007) memaparkan bahwa fase tahun 1974 sampai dekade tahun 2000-an merupakan fase neoliberalisme. Di dalam era tersebut, negara-negara barat (USA, Eropa Barat dan Australia) mengalami penurunan nilai pertumbuhan pendapatan per kapita dibandingkan fase sebelum 1974. Dari tahun 1974-2005 pertumbuhan pendapatan per kapita di negara barat hanya mencapai 1.43 persen atau mengalami downswing era (pertumbuhan antara 1-2 persen). Sementara di negara-negara Asia, termasuk China dan Jepang, mengalami situasi yang berbeda, di mana negara-negara tersebut mengalami upswing era (antara 2-3 persen). Jika sedikit mengingat para pemimpin negara aliran neoliberalis, selain Ronald Reagen (USA) dan Margaret Thatcher (United Kingdom), serta Deng Xiaoping dari China merupakan salah satu penggagasnya.
Deng cukup berhasil untuk mengembangkan neoliberalisasi di China. China sebuah negara dengan penduduk terbesar di dunia segera “bergerak” menjadi salah satu negara yang menjadi tonggak neoliberalis. USA sendiri tampaknya perlu “belajar” dari China tentang neoliberal karena justru posisi USA mengalami downswing era. USA dengan beberapa negara Barat tidak kehilangan ide untuk mengembalikan supremasi mereka. Mereka menggunakan hegemoni kapital yang lain dalam bentuk institusi kapital, yaitu lembaga-lembaga internasional termasuk World Bank dan IMF.
Hegemoni Kapital dan Institusi: Pengunduran Diri SMI
Hegemoni institusi internasional ini yang digunakan USA dan negara barat (negara core) untuk melakukan kapitalisasi dan bahkan neokolonialisasi terhadap negara-negara berkembang dan miskin (periphery). Institusi kapital seperti World Bank dan IMF berusaha memanfaatkan hegemoni mereka, untuk melakukan akumulasi kapital dan neokolonialis. Mereka memanfaatkan hubungan struktural melalui pola dependensia hutang dan pinjaman kapital terhadap negara periphery. Bahkan dari aspek lain, seperti sumber daya alam dan manusia juga mengalami aliran alokasi dari negara periphery ke core melalui hegemoni lembaga kapital tersebut. Beberapa fenomena tersebut secara tidak langsung bertujuan untuk mengembalikan posisi upswing era bagi perekonomian negara core (terutama USA dan Eropa Barat).
Sekilas memang tampak begitu samar, namun aliran alokasi sumber daya manusia melalui hegemoni institusi telah terjadi terhadap negara kita (Indonesia). Pengunduran diri SMI dari posisi Menkeu dan beralih menjadi Managing Director World Bank, salah satu institusi pemegang hegemoni kapital internasional menjadi salah satu bukti nyata. Memang telah terjadi perbedaan pendapat atau pun persepsi tentang hal ini. Satu pihak menganggap bahwa pengunduran diri SMI merupakan sebuah langkah tepat dan bahkan membanggakan bagi bangsa kita. SMI yang selama 5 bulan terakhir menjadi “sasaran tembak” Pansus Century, dianggap telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ekonom handal dan mampu “melepaskan diri” dari permasalahan dengan elegan. Simpati ke SMI pun semakin bertambah manakala melihat performa dari anggota Pansus yang kurang elegan dan bahkan mengalami permasalahan kredibilitas internal. Secara garis besar banyak pihak yang merasa bangga dengan prestasi SMI yang dipilih menjadi Managing Director World Bank.
Namun di sisi lain, kebanggaan tersebut harus dikritisi dengan fenomena hegemoni institusi kapital di atas. SMI telah menjadi bagian dari sebuah pola struktural proses aliran sumber daya manusia dari negara berkembang (periphery) ke negara maju (core) yang direpresentasikan dengan World Bank. Banyak asumsi yang mendasari hal tersebut, seperti penciptaan pola dependensia versi baru (hutang dan pinjaman) dan bahkan sampai pada asumsi neokolonial. Posisi SMI di institusi World Bank diasumsikan dapat mempermudah pola dependensia negara kita dan beberapa negara periphery di Asia dan Afrika melalui pinjaman dan hutang luar negeri. Di sisi yang lain, cukup ironis, seorang anak bangsa lebih memilih menjadi pejabat institusi “mesin kapitalis dunia” daripada menjadi ekonom dan negarawan di negeri sendiri. Memang posisi Managing Director World Bank menawarkan sebuah eksistensi luar biasa dan tentunya rewards finansial yang menjanjikan. Tetapi di sisi lain harus bekerja sebagai agen proses hegemoni kapitalis yang berpotensi menciptakan neokolonial terhadap negara-negara periphery termasuk negara kita sendiri. Kemampuan sebagai ekonom dengan kapasitas keilmuan tinggi dapat menjadi tidak bernilai jika memilih menjadi agen untuk mendukung hegemoni negara kapitalis.
Simpulan sebuah catatan
Konstruksi tulisan ini mencoba memahami kembali tentang bagaimana melihat sesuatu sebaiknya dari beberapa perspektif. Kebanggaan dapat menjadi semu jika diawali dengan sebuah perspektif bahwa institusi internasional (World Bank dan IMF) adalah institusi “super” yang memiliki hegemoni dan harus dikagumi. Sebaliknya, jika melihat dari perspektif kritis tentunya tidak akan serta merta menyatakan sebuah kebanggaan namun justru menunjukkan “hal yang tragis”. Kedaulatan negara terhadap sumber dayanya telah berhasil dibeli oleh suatu hegemoni institusi internasional yang menjadi “mesin kapitalisme” dunia. Akhirnya, simpulan tulisan ini tidak akan menggiring opini atau bahkan "pembunuhan karakter", tulisan ini hanya memberikan tawaran pola pikir heterodoks secara sederhana terhadap suatu fenomena.
*) Ditulis oleh Bhimo R Samudro
Staf Pengajar FE UNS dan peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)
Salah satu deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Simpatisan dari Union for Radical Political Economic (URPE)
Sekilas Historis Neoliberalisme
Angus Maddison (2007) memaparkan bahwa fase tahun 1974 sampai dekade tahun 2000-an merupakan fase neoliberalisme. Di dalam era tersebut, negara-negara barat (USA, Eropa Barat dan Australia) mengalami penurunan nilai pertumbuhan pendapatan per kapita dibandingkan fase sebelum 1974. Dari tahun 1974-2005 pertumbuhan pendapatan per kapita di negara barat hanya mencapai 1.43 persen atau mengalami downswing era (pertumbuhan antara 1-2 persen). Sementara di negara-negara Asia, termasuk China dan Jepang, mengalami situasi yang berbeda, di mana negara-negara tersebut mengalami upswing era (antara 2-3 persen). Jika sedikit mengingat para pemimpin negara aliran neoliberalis, selain Ronald Reagen (USA) dan Margaret Thatcher (United Kingdom), serta Deng Xiaoping dari China merupakan salah satu penggagasnya.
Deng cukup berhasil untuk mengembangkan neoliberalisasi di China. China sebuah negara dengan penduduk terbesar di dunia segera “bergerak” menjadi salah satu negara yang menjadi tonggak neoliberalis. USA sendiri tampaknya perlu “belajar” dari China tentang neoliberal karena justru posisi USA mengalami downswing era. USA dengan beberapa negara Barat tidak kehilangan ide untuk mengembalikan supremasi mereka. Mereka menggunakan hegemoni kapital yang lain dalam bentuk institusi kapital, yaitu lembaga-lembaga internasional termasuk World Bank dan IMF.
Hegemoni Kapital dan Institusi: Pengunduran Diri SMI
Hegemoni institusi internasional ini yang digunakan USA dan negara barat (negara core) untuk melakukan kapitalisasi dan bahkan neokolonialisasi terhadap negara-negara berkembang dan miskin (periphery). Institusi kapital seperti World Bank dan IMF berusaha memanfaatkan hegemoni mereka, untuk melakukan akumulasi kapital dan neokolonialis. Mereka memanfaatkan hubungan struktural melalui pola dependensia hutang dan pinjaman kapital terhadap negara periphery. Bahkan dari aspek lain, seperti sumber daya alam dan manusia juga mengalami aliran alokasi dari negara periphery ke core melalui hegemoni lembaga kapital tersebut. Beberapa fenomena tersebut secara tidak langsung bertujuan untuk mengembalikan posisi upswing era bagi perekonomian negara core (terutama USA dan Eropa Barat).
Sekilas memang tampak begitu samar, namun aliran alokasi sumber daya manusia melalui hegemoni institusi telah terjadi terhadap negara kita (Indonesia). Pengunduran diri SMI dari posisi Menkeu dan beralih menjadi Managing Director World Bank, salah satu institusi pemegang hegemoni kapital internasional menjadi salah satu bukti nyata. Memang telah terjadi perbedaan pendapat atau pun persepsi tentang hal ini. Satu pihak menganggap bahwa pengunduran diri SMI merupakan sebuah langkah tepat dan bahkan membanggakan bagi bangsa kita. SMI yang selama 5 bulan terakhir menjadi “sasaran tembak” Pansus Century, dianggap telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ekonom handal dan mampu “melepaskan diri” dari permasalahan dengan elegan. Simpati ke SMI pun semakin bertambah manakala melihat performa dari anggota Pansus yang kurang elegan dan bahkan mengalami permasalahan kredibilitas internal. Secara garis besar banyak pihak yang merasa bangga dengan prestasi SMI yang dipilih menjadi Managing Director World Bank.
Namun di sisi lain, kebanggaan tersebut harus dikritisi dengan fenomena hegemoni institusi kapital di atas. SMI telah menjadi bagian dari sebuah pola struktural proses aliran sumber daya manusia dari negara berkembang (periphery) ke negara maju (core) yang direpresentasikan dengan World Bank. Banyak asumsi yang mendasari hal tersebut, seperti penciptaan pola dependensia versi baru (hutang dan pinjaman) dan bahkan sampai pada asumsi neokolonial. Posisi SMI di institusi World Bank diasumsikan dapat mempermudah pola dependensia negara kita dan beberapa negara periphery di Asia dan Afrika melalui pinjaman dan hutang luar negeri. Di sisi yang lain, cukup ironis, seorang anak bangsa lebih memilih menjadi pejabat institusi “mesin kapitalis dunia” daripada menjadi ekonom dan negarawan di negeri sendiri. Memang posisi Managing Director World Bank menawarkan sebuah eksistensi luar biasa dan tentunya rewards finansial yang menjanjikan. Tetapi di sisi lain harus bekerja sebagai agen proses hegemoni kapitalis yang berpotensi menciptakan neokolonial terhadap negara-negara periphery termasuk negara kita sendiri. Kemampuan sebagai ekonom dengan kapasitas keilmuan tinggi dapat menjadi tidak bernilai jika memilih menjadi agen untuk mendukung hegemoni negara kapitalis.
Simpulan sebuah catatan
Konstruksi tulisan ini mencoba memahami kembali tentang bagaimana melihat sesuatu sebaiknya dari beberapa perspektif. Kebanggaan dapat menjadi semu jika diawali dengan sebuah perspektif bahwa institusi internasional (World Bank dan IMF) adalah institusi “super” yang memiliki hegemoni dan harus dikagumi. Sebaliknya, jika melihat dari perspektif kritis tentunya tidak akan serta merta menyatakan sebuah kebanggaan namun justru menunjukkan “hal yang tragis”. Kedaulatan negara terhadap sumber dayanya telah berhasil dibeli oleh suatu hegemoni institusi internasional yang menjadi “mesin kapitalisme” dunia. Akhirnya, simpulan tulisan ini tidak akan menggiring opini atau bahkan "pembunuhan karakter", tulisan ini hanya memberikan tawaran pola pikir heterodoks secara sederhana terhadap suatu fenomena.
*) Ditulis oleh Bhimo R Samudro
Staf Pengajar FE UNS dan peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)
Salah satu deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Simpatisan dari Union for Radical Political Economic (URPE)
Sunday, May 2, 2010
Akumulasi Kontradiksi Struktur Sosio-Ekonomi Dibalik Tragedi Tanjung Priok 2010
Oleh: Bhimo Rizky Samudro*)
Pada Rabu pagi tanggal 14 April 2010, sekitar 100 warga Tanjung Priok terlibat bentrokan dengan Satpol Pamong Praja (PP) dan aparat kepolisian di depan TPU Dobo, Kelurahan Koja, Jakarta Utara. Warga mempertahankan makam Mbah Priok (seorang yang menjadi tokoh ulama setempat) dari penggusuran oleh pemerintah kota (pemkot). Warga setempat tampaknya tidak merelakan bahwa makam tokoh panutan mereka digusur dengan alasan apapun dari pemkot. Akhirnya bentrokan tidak dapat dihindarkan dan menyebabkan dampak kerugian yang cukup besar.
Bentrokan tersebut mengakibatkan 2 dua orang korban tewas dan 130 mengalami luka berat maupun ringan (Kompas, 15 April 2010). Sekitar puluhan mobil, baik pribadi maupun dari pihak polisi dan Satpol PP dibakar oleh massa. Kerugian ini masih ditambah dengan terhambatnya arus lalu-lintas barang ekspor-impor ke pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini secara umum merupakan deskripsi dampak dari permasalahan sosio-ekonomi yang sedang melanda negara kita, khususnya di kawasan tersebut.
Sirkulasi dan Akumulasi Sosial
Permasalahan sosio-ekonomi yang melanda negeri ini memang menjadi bagian dari sebuah akumulasi struktur sistem dan manusia yang ada di dalamnya. Apabila memori kita kembali pada peristiwa di daerah yang sama pada tahun 1984, kita seakan dituntun untuk berpikir tentang akar utama penyebab terjadinya kembali bentrokan yang sejenis 26 tahun kemudian. Artinya ada sebuah akumulasi permasalahan sosial yang berkaitan dengan pola yang sama dan berjalan dalam suatu runtun waktu. Akumulasi ini ternyata memiliki umpan balik (feedback) negatif dan muncul sebagai sebuah bentrokan sosial atau lebih tepatnya tragedi setelah 26 tahun terendap.
Akumulasi permasalahan dari peristiwa di Tanjung Priok (atau lebih populer disebut Tragedi Priok 2010) ini tampaknya sejalan dengan hipotesa circular and cumulative causation dari Gunnar Myrdal. Secara sederhana Myrdal menjelaskan tentang adanya sirkulasi (circular) hubungan interdependensi faktor-faktor universal yang ada (ekonomi, sosial, politik, budaya) yang bergerak dalam suatu pola yang sama dalam kurun waktu tertentu. Sirkulasi ini menghasilkan efek magnifikasi (semakin besar dan kuat) sebagai sebuah umpan balik dan bersifat akumulatif. Hal ini yang kemudian disebut dengan istilah cumulative causation. Efek akumulatif ini dapat berupa aspek positif maupun negatif. Jika ternyata menghasilkan efek yang negatif, maka dikatakan telah terjadi kontradiksi dalam proses akumulasi struktur dari faktor-faktor universal yang ada.
Kontradiksi Sosio-Ekonomi Tanjung Priok
Secara sederhana hipotesa Myrdal ini dapat digunakan untuk menjelaskan pola sebab-akibat Tragedi Priok 2010. Ada beberapa aspek yang dapat dijadikan sebuah diskursus tentang realita sosio-ekonomi di kawasan Tanjung Priok, salah satunya adalah antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia di kawasan ini. Kawasan Priok merupakan kawasan industri dan perdagangan yang cukup maju di DKI Jakarta. Kawasan ini tersebut tidak pernah sepi dari truk container pengangkut barang (ekspor-impor) yang silih berganti dari pelabuhan. Fenomena ini menunjukkan bahwa secara umum kawasan ini memiliki kegiatan ekonomi yang dominan. Namun di sisi lain, masalah pembangunan manusia di kawasan ini juga hendaknya menjadi perhatian dari pemerintah setempat agar tidak tertinggal secara relatif dengan wilayah lain di Propinsi DKI Jakarta.
Simulasi sederhana dapat dilakukan untuk mengkaji hubungan struktural antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia di Jakarta Utara (Jakut), khususnya kawasan Priok. Kita dapat menggunakan posisi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk mengkaji daerah Jakut. Posisi dalam konteks ini adalah posisi relatif PDRB dan IPM kota Jakut terhadap daerah lainnya di Propinsi DKI Jakarta. Secara logika, jika selisih angka peringkat PDRB kota Jakut dengan IPM-nya menghasilkan angka negatif, maka telah terjadi kontradiksi dalam hubungan struktural antara faktor ekonomi dan pembangunan manusia di kawasan tersebut. Artinya pertumbuhan ekonomi di kawasan ini secara relatif lebih dominan dibandingkan proses pembangunan manusia-nya. Pertumbuhan ekonomi yang hendaknya berkembang mendukung pembangunan manusia, namun hal ini justru tidak terjadi di kawasan ini (dengan asumsi simulasi di atas). Jika simulasi ini sesuai dengan realita yang ada, berarti kita juga harus mengkaji penyebab fenomena kontradiksi ini.
Kontradiksi dalam hubungan struktural antara faktor ekonomi dan pembangunan manusia di kawasan Jakut diasumsikan dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, secara historis Jakut memang didesain oleh kolonial menjadi kawasan industri dan perdagangan, dan bukan merupakan kawasan pemukiman maupun pendidikan bagi masyarakat Jakarta (Batavia). Secara relatif, lingkungan sosial menjadi kurang mendukung iklim pembangunan manusia (pendidikan). Kedua, iklim pembangunan manusia yang relatif kurang kondusif menjadi salah satu pembentuk karakter dan budaya yang “keras” dan secara psikologis cenderung over responsive terhadap suatu permasalahan. Ketiga, faktor stigma “daerah yang keras” yang justru didengungkan oleh pemerintah kota atau propinsi terhadap kawasan ini. Peristiwa Tanjung Priok 1984 merupakan bukti pemberian stigma sekaligus sikap over repressive pemerintah terhadap warga setempat. Padahal di sisi lain, secara realita, kawasan Jakut juga memiliki kultur religi (Islam) yang cukup kuat. Hal ini mengakibatkan dorongan psikologis bagi warga setempat untuk membuktikan eksistensi bahwa mereka memiliki nilai-nilai religi kuat dan cenderung “tidak rela” jika stigma negatif terus melekat di daerah ini. Namun karena relatif kurang didukung dengan iklim edukasi yang kuat, maka dorongan eksistensi yang muncul adalah perlawanan yang cenderung keras (fisik). Hal ini yang perlu menjadi perhatian dan secara bertahap hendaknya harus dapat direduksi.
Jika kita memperhatikan asumsi penyebab adanya kontradiksi dalam hubungan struktural di kawasan Jakut, maka kita dapat mengkaji dengan membandingkan dua peristiwa (tahun 1984 dan 2010). Karakteristik kedua peristiwa ini hampir mirip, yaitu dipicu objek permasalahan yang berkaitan dengan kultur (religi). Di tahun 1984, amarah massa dipicu salah satunya karena adanya isu aparat militer yang memasuki masjid dengan tidak menghormati aturan (tetap memakai sepatu di daerah suci). Sementara 26 tahun kemudian, di kawasan yang sama, massa juga terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian dan satpol PP juga karena mempertahankan kultur religinya. Massa setempat marah karena makam Mbah Priuk, salah satu tokoh ulama mereka, akan digusur oleh aparat kepolisian dan Satpol PP.
Sirkulasi hubungan antara struktur ekonomi dan pembangunan manusia (sosial dan budaya) di kawasan Jakut mengalami kontradiksi dengan pola yang sama dari zaman kolonial sampai sekarang. Pola kontradiksi tersebut terus mengalami magnifikasi (menjadi besar) dan memberikan dampak akumulasi yang negatif contoh: peristiwa tahun 1984 dan 2010 di atas. Akumulasi kontradiksi yang berjalan seiring dengan waktu ini menjadi suatu problem sosial yang harus segera diselesaikan.
Jika permasalahannya terletak pada adanya gap struktural antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia (institutional/structural gap between growth and human development), maka kita dapat melakukan rekonstruksi pada elemen strukturnya. Pertama, secara perlahan mulai pemerintah mensosialisasikan untuk menghilangkan stigma “daerah keras” dan menggantinya dengan “memunculkan” kultur religi yang menjadi khas setempat. Kedua, sosialisasi ini juga didukung dengan alokasi pembangunan manusia di sektor pendidikan, pemerintah lebih progresif mengarahkan alokasi dana APBD untuk meningkatkan kualitas sekolah di kawasan ini (dari pendidikan dasar hingga menengah). Artinya pertumbuhan ekonomi di kawasan ini berjalan seiring dengan pembangunan manusia-nya, dimana ekonomi mendukung sektor pendidikan. Diharapkan masyarakat setempat dapat mengungkapkan eksistensinya dengan pola yang cenderung edukatif.
Simpulan Sebuah Catatan
Catatan ini mencoba melihat Tragedi Priok 2010 dari perspektif ekonomi politik, yang secara sederhana melihat adanya unsur akumulasi dan kontradiksi struktur sosial di balik peristiwa tersebut. Peristiwa Tanjung Priok tahun 2010 sebenarnya merupakan sebuah dampak akumulasi dari sebuah kontradiksi struktur sosio-ekonomi yang ada di kawasan tersebut. Dampak kontradiksi yang sempat “meledak” di tahun 1984 ternyata kurang diperhatikan oleh kita sehingga peristiwa serupa terulang lagi. Gap struktural antara faktor ekonomi dan pembangunan manusia (sosial) hendaknya dapat direduksi dan sekaligus dapat dihindarkan pula dampak magnifikasi serta akumulasinya di masa datang. Akhirnya, harapan kita semua adalah melihat Tanjung Priok sebagai sebuah kawasan yang bukan hanya maju secara ekonomi namun juga kondusif dari sisi sosial.
*)Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)
Anggota dan salah satu deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Pada Rabu pagi tanggal 14 April 2010, sekitar 100 warga Tanjung Priok terlibat bentrokan dengan Satpol Pamong Praja (PP) dan aparat kepolisian di depan TPU Dobo, Kelurahan Koja, Jakarta Utara. Warga mempertahankan makam Mbah Priok (seorang yang menjadi tokoh ulama setempat) dari penggusuran oleh pemerintah kota (pemkot). Warga setempat tampaknya tidak merelakan bahwa makam tokoh panutan mereka digusur dengan alasan apapun dari pemkot. Akhirnya bentrokan tidak dapat dihindarkan dan menyebabkan dampak kerugian yang cukup besar.
Bentrokan tersebut mengakibatkan 2 dua orang korban tewas dan 130 mengalami luka berat maupun ringan (Kompas, 15 April 2010). Sekitar puluhan mobil, baik pribadi maupun dari pihak polisi dan Satpol PP dibakar oleh massa. Kerugian ini masih ditambah dengan terhambatnya arus lalu-lintas barang ekspor-impor ke pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini secara umum merupakan deskripsi dampak dari permasalahan sosio-ekonomi yang sedang melanda negara kita, khususnya di kawasan tersebut.
Sirkulasi dan Akumulasi Sosial
Permasalahan sosio-ekonomi yang melanda negeri ini memang menjadi bagian dari sebuah akumulasi struktur sistem dan manusia yang ada di dalamnya. Apabila memori kita kembali pada peristiwa di daerah yang sama pada tahun 1984, kita seakan dituntun untuk berpikir tentang akar utama penyebab terjadinya kembali bentrokan yang sejenis 26 tahun kemudian. Artinya ada sebuah akumulasi permasalahan sosial yang berkaitan dengan pola yang sama dan berjalan dalam suatu runtun waktu. Akumulasi ini ternyata memiliki umpan balik (feedback) negatif dan muncul sebagai sebuah bentrokan sosial atau lebih tepatnya tragedi setelah 26 tahun terendap.
Akumulasi permasalahan dari peristiwa di Tanjung Priok (atau lebih populer disebut Tragedi Priok 2010) ini tampaknya sejalan dengan hipotesa circular and cumulative causation dari Gunnar Myrdal. Secara sederhana Myrdal menjelaskan tentang adanya sirkulasi (circular) hubungan interdependensi faktor-faktor universal yang ada (ekonomi, sosial, politik, budaya) yang bergerak dalam suatu pola yang sama dalam kurun waktu tertentu. Sirkulasi ini menghasilkan efek magnifikasi (semakin besar dan kuat) sebagai sebuah umpan balik dan bersifat akumulatif. Hal ini yang kemudian disebut dengan istilah cumulative causation. Efek akumulatif ini dapat berupa aspek positif maupun negatif. Jika ternyata menghasilkan efek yang negatif, maka dikatakan telah terjadi kontradiksi dalam proses akumulasi struktur dari faktor-faktor universal yang ada.
Kontradiksi Sosio-Ekonomi Tanjung Priok
Secara sederhana hipotesa Myrdal ini dapat digunakan untuk menjelaskan pola sebab-akibat Tragedi Priok 2010. Ada beberapa aspek yang dapat dijadikan sebuah diskursus tentang realita sosio-ekonomi di kawasan Tanjung Priok, salah satunya adalah antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia di kawasan ini. Kawasan Priok merupakan kawasan industri dan perdagangan yang cukup maju di DKI Jakarta. Kawasan ini tersebut tidak pernah sepi dari truk container pengangkut barang (ekspor-impor) yang silih berganti dari pelabuhan. Fenomena ini menunjukkan bahwa secara umum kawasan ini memiliki kegiatan ekonomi yang dominan. Namun di sisi lain, masalah pembangunan manusia di kawasan ini juga hendaknya menjadi perhatian dari pemerintah setempat agar tidak tertinggal secara relatif dengan wilayah lain di Propinsi DKI Jakarta.
Simulasi sederhana dapat dilakukan untuk mengkaji hubungan struktural antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia di Jakarta Utara (Jakut), khususnya kawasan Priok. Kita dapat menggunakan posisi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk mengkaji daerah Jakut. Posisi dalam konteks ini adalah posisi relatif PDRB dan IPM kota Jakut terhadap daerah lainnya di Propinsi DKI Jakarta. Secara logika, jika selisih angka peringkat PDRB kota Jakut dengan IPM-nya menghasilkan angka negatif, maka telah terjadi kontradiksi dalam hubungan struktural antara faktor ekonomi dan pembangunan manusia di kawasan tersebut. Artinya pertumbuhan ekonomi di kawasan ini secara relatif lebih dominan dibandingkan proses pembangunan manusia-nya. Pertumbuhan ekonomi yang hendaknya berkembang mendukung pembangunan manusia, namun hal ini justru tidak terjadi di kawasan ini (dengan asumsi simulasi di atas). Jika simulasi ini sesuai dengan realita yang ada, berarti kita juga harus mengkaji penyebab fenomena kontradiksi ini.
Kontradiksi dalam hubungan struktural antara faktor ekonomi dan pembangunan manusia di kawasan Jakut diasumsikan dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, secara historis Jakut memang didesain oleh kolonial menjadi kawasan industri dan perdagangan, dan bukan merupakan kawasan pemukiman maupun pendidikan bagi masyarakat Jakarta (Batavia). Secara relatif, lingkungan sosial menjadi kurang mendukung iklim pembangunan manusia (pendidikan). Kedua, iklim pembangunan manusia yang relatif kurang kondusif menjadi salah satu pembentuk karakter dan budaya yang “keras” dan secara psikologis cenderung over responsive terhadap suatu permasalahan. Ketiga, faktor stigma “daerah yang keras” yang justru didengungkan oleh pemerintah kota atau propinsi terhadap kawasan ini. Peristiwa Tanjung Priok 1984 merupakan bukti pemberian stigma sekaligus sikap over repressive pemerintah terhadap warga setempat. Padahal di sisi lain, secara realita, kawasan Jakut juga memiliki kultur religi (Islam) yang cukup kuat. Hal ini mengakibatkan dorongan psikologis bagi warga setempat untuk membuktikan eksistensi bahwa mereka memiliki nilai-nilai religi kuat dan cenderung “tidak rela” jika stigma negatif terus melekat di daerah ini. Namun karena relatif kurang didukung dengan iklim edukasi yang kuat, maka dorongan eksistensi yang muncul adalah perlawanan yang cenderung keras (fisik). Hal ini yang perlu menjadi perhatian dan secara bertahap hendaknya harus dapat direduksi.
Jika kita memperhatikan asumsi penyebab adanya kontradiksi dalam hubungan struktural di kawasan Jakut, maka kita dapat mengkaji dengan membandingkan dua peristiwa (tahun 1984 dan 2010). Karakteristik kedua peristiwa ini hampir mirip, yaitu dipicu objek permasalahan yang berkaitan dengan kultur (religi). Di tahun 1984, amarah massa dipicu salah satunya karena adanya isu aparat militer yang memasuki masjid dengan tidak menghormati aturan (tetap memakai sepatu di daerah suci). Sementara 26 tahun kemudian, di kawasan yang sama, massa juga terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian dan satpol PP juga karena mempertahankan kultur religinya. Massa setempat marah karena makam Mbah Priuk, salah satu tokoh ulama mereka, akan digusur oleh aparat kepolisian dan Satpol PP.
Sirkulasi hubungan antara struktur ekonomi dan pembangunan manusia (sosial dan budaya) di kawasan Jakut mengalami kontradiksi dengan pola yang sama dari zaman kolonial sampai sekarang. Pola kontradiksi tersebut terus mengalami magnifikasi (menjadi besar) dan memberikan dampak akumulasi yang negatif contoh: peristiwa tahun 1984 dan 2010 di atas. Akumulasi kontradiksi yang berjalan seiring dengan waktu ini menjadi suatu problem sosial yang harus segera diselesaikan.
Jika permasalahannya terletak pada adanya gap struktural antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia (institutional/structural gap between growth and human development), maka kita dapat melakukan rekonstruksi pada elemen strukturnya. Pertama, secara perlahan mulai pemerintah mensosialisasikan untuk menghilangkan stigma “daerah keras” dan menggantinya dengan “memunculkan” kultur religi yang menjadi khas setempat. Kedua, sosialisasi ini juga didukung dengan alokasi pembangunan manusia di sektor pendidikan, pemerintah lebih progresif mengarahkan alokasi dana APBD untuk meningkatkan kualitas sekolah di kawasan ini (dari pendidikan dasar hingga menengah). Artinya pertumbuhan ekonomi di kawasan ini berjalan seiring dengan pembangunan manusia-nya, dimana ekonomi mendukung sektor pendidikan. Diharapkan masyarakat setempat dapat mengungkapkan eksistensinya dengan pola yang cenderung edukatif.
Simpulan Sebuah Catatan
Catatan ini mencoba melihat Tragedi Priok 2010 dari perspektif ekonomi politik, yang secara sederhana melihat adanya unsur akumulasi dan kontradiksi struktur sosial di balik peristiwa tersebut. Peristiwa Tanjung Priok tahun 2010 sebenarnya merupakan sebuah dampak akumulasi dari sebuah kontradiksi struktur sosio-ekonomi yang ada di kawasan tersebut. Dampak kontradiksi yang sempat “meledak” di tahun 1984 ternyata kurang diperhatikan oleh kita sehingga peristiwa serupa terulang lagi. Gap struktural antara faktor ekonomi dan pembangunan manusia (sosial) hendaknya dapat direduksi dan sekaligus dapat dihindarkan pula dampak magnifikasi serta akumulasinya di masa datang. Akhirnya, harapan kita semua adalah melihat Tanjung Priok sebagai sebuah kawasan yang bukan hanya maju secara ekonomi namun juga kondusif dari sisi sosial.
*)Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)
Anggota dan salah satu deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Kontradiksi Target Investment Grade dan Realitas Sosio-Ekonomi Indonesia
Oleh: Bhimo Rizky Samudro*)
Moody’s Investment Grade
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan bahwa Moody’s Investor Service, telah melakukan survey terhadap perkembangan perekonomian dan infrastruktur di Indonesia. Moody’s Investor Service merupakan lembaga internasional penyusun peringkat negara atas dasar tingkat potensi investasi. Lebih lanjut, Hatta menyatakan bahwa lembaga tersebut sedang mempelajari konsep pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Pernyataan Hatta tersebut juga didukung oleh perntaaan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sri Mulyani juga mengemukakan tentang target Indonesia untuk dapat masuk ke investment grade dalam jangka waktu 1 tahun ke depan. Optimisme sang Menkeu itu didasarkan bahwa posisi APBN Indonesia yang semakin kuat dalam pandangan Moody’s.
Obsesi untuk dapat mendorong Indonesia masuk dalam investment grade versi Moody’s memang cukup logis dan bermanfaat. Namun yang perlu diperhatikan adalah indikator yang dijadikan tolok ukur investment grade tersebut. Indikator yang digunakan sebagai dasar obsesi investment grade tersebut dapat menjadi sebuah diskursus. Pemerintah tampaknya cenderung terobsesi dengan indikator pertumbuhan lewat APBN dan infrastruktur. Namun di sisi lain, pemerintah kurang memperhatikan institusi dan struktur sosial yang berkembang di masyarakat. Hal ini memunculkan sebuah kontradiksi.
Kontradiksi Investment Grade vs Realitas Sosial: Logika dan Empiris
Kontradiksi merupakan sebuah pengertian dalam ekonomi politik yang berarti sebuah proses endogen dalam suatu sistem (sosio-ekonomi) sebagai hasil hubungan struktural antara dua aspek yang mengarah kepada anomali atau berlawanan. Pemerintah di satu sisi lebih mengarahkan pada konsep pertumbuhan dan menggunakan momentum serta peran Moody’s untuk meningkatkan citra investasi di Indonesia. APBN dan infrastruktur mengalami peningkatan dapat berpotensi meningkatkan investment grade Indonesia. Kenaikan investment grade akan meningkatkan citra investasi Indonesia. Obsesi yang diharapkan adalah mengundang kembali para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia (motif ini didasarkan asumsi peringkat Indonesia di Moody’s). Logika ini yang tampaknya mendasari obsesi dari pemerintah untuk memanfaatkan momentum Moody’s Investment Grade ini.
Obsesi investment grade ini akan menjadi problematika tersendiri bagi pemerintah. Artinya pada saat logika pertumbuhan ekonomi dipakai pemerintah dan dapat memenuhi obsesinya untuk mendapatkan investment grade, pemerintah memiliki dasar bahwa Indonesia layak bagi investor. Namun dari sisi realitas sosio-ekonomi, investor hanya akan memperoleh “kenyamanan semu” dalam berinvestasi di Indonesia. Suatu hal yang ironis jika mereka mendapatkan banyak “barrier” institusi dan regulasi pemerintah yang belum tertata dengan baik. Permasalahan kolusi dan korupsi juga akan rentan menghadang para investor. Belum lagi, para investor harus menghadapi banyak realitas sosial yang akan bertolak belakang dengan indikator pertumbuhan yang ada.
Pemerintah seharusnya tidak terlalu terobsesi dengan indikator pertumbuhan ekonomi dan bahkan investment grade. Pemerintah semestinya melihat beberapa bukti empiris (realitas sosial) yang dapat memperkuat asumsi bahwa telah terjadi kontradiksi antara obsesi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosio-ekonomi di Indonesia. Indonesia diantara negara-negara dunia memiliki level menengah (medium Human Development) dalam pembangunan sumber daya manusia. Posisi Indonesia di peringkat 111 dengan angka Human Development Index (HDI) 0.734 pada tahun 2007 (UNDP 2009). Hal krusial yang perlu diperhatikan adalah nilai rangking GDP per kapita Indonesia minus rangking HDI-nya menunjukan nilai + 10. Angka tersebut menunjukkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia berjalan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya terdapat hubungan struktural antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia di Indonesia. Padahal jika melihat realita sosio-ekonomi yang ada akan sangat berbeda dengan logika interpretasi data yang ada, misal belum tercapainya target MDG’s bidang kesehatan dan pendidikan. Berdasarkan data ADB 2009, Indonesia mengalami peningkatan kematian ibu melahirkan 307/ 100.000 kelahiran hidup ke angka kematian ibu melahirkan 420/100.000 kelahiran hidup. Dengan kata lain telah terjadi disfungsi struktural antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia di Indonesia secara realita.
Permasalahan disfungsi struktural antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia di Indonesia juga terjadi pada indikator tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang asing (trust to another nationality). Berdasarkan data World Values Survey (WVS) 2009, masyarakat di Indonesia memiliki tingkat kepercayaan terhadap orang asing 13.8% dan nilai ini termasuk rendah jika dibandingkan dengan sesama negara ASEAN, seperti Thailand (24,90 %) dan Vietnam (18,90 %). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat investment grade yang tinggi akan berhadapan dengan realitas bahwa masyarakat Indonesia masih relatif berhati-hati dengan “orang asing”, di sisi lain investor asing akan masuk dengan asumsi investment grade yang tinggi (kondusif bagi investasi). Hal ini membuktikan lagi sebuah kontradiksi dan sekaligus merupakan contoh realita disfungsi structural di Indonesia.
Simpulan Sebuah Catatan
Obsesi pemerintah untuk mendapatkan investment grade (versi Moody’s) yang tinggi memang layak untuk diapresiasi dan potensial memacu pertumbuhan ekonomi. Namun pemerintah perlu juga memperhatikan asumsi yang mendasari obsesi tersebut. Pemerintah hendaknya perlu melihat realitas sosio-ekonomi, seperti pembangunan sumber daya manusia (kesehatan dan pendidikan) serta memperhatikan juga fenomena tingkat kepercayaan masyarakat (terutama terhadap orang asing). Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan indikator GDP, APBN dan infrastruktur fisik akan mengalami disfungsi struktural dengan realitas pembangunan manusia atau dengan kata lain telah terjadi kontradiksi struktural antara pertumbuhan ekonomi (melalui GDP dan investasi) dengan pembangunan manusia yang berbasis pada realita.
*)Staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)
Salah satu deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Moody’s Investment Grade
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan bahwa Moody’s Investor Service, telah melakukan survey terhadap perkembangan perekonomian dan infrastruktur di Indonesia. Moody’s Investor Service merupakan lembaga internasional penyusun peringkat negara atas dasar tingkat potensi investasi. Lebih lanjut, Hatta menyatakan bahwa lembaga tersebut sedang mempelajari konsep pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Pernyataan Hatta tersebut juga didukung oleh perntaaan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sri Mulyani juga mengemukakan tentang target Indonesia untuk dapat masuk ke investment grade dalam jangka waktu 1 tahun ke depan. Optimisme sang Menkeu itu didasarkan bahwa posisi APBN Indonesia yang semakin kuat dalam pandangan Moody’s.
Obsesi untuk dapat mendorong Indonesia masuk dalam investment grade versi Moody’s memang cukup logis dan bermanfaat. Namun yang perlu diperhatikan adalah indikator yang dijadikan tolok ukur investment grade tersebut. Indikator yang digunakan sebagai dasar obsesi investment grade tersebut dapat menjadi sebuah diskursus. Pemerintah tampaknya cenderung terobsesi dengan indikator pertumbuhan lewat APBN dan infrastruktur. Namun di sisi lain, pemerintah kurang memperhatikan institusi dan struktur sosial yang berkembang di masyarakat. Hal ini memunculkan sebuah kontradiksi.
Kontradiksi Investment Grade vs Realitas Sosial: Logika dan Empiris
Kontradiksi merupakan sebuah pengertian dalam ekonomi politik yang berarti sebuah proses endogen dalam suatu sistem (sosio-ekonomi) sebagai hasil hubungan struktural antara dua aspek yang mengarah kepada anomali atau berlawanan. Pemerintah di satu sisi lebih mengarahkan pada konsep pertumbuhan dan menggunakan momentum serta peran Moody’s untuk meningkatkan citra investasi di Indonesia. APBN dan infrastruktur mengalami peningkatan dapat berpotensi meningkatkan investment grade Indonesia. Kenaikan investment grade akan meningkatkan citra investasi Indonesia. Obsesi yang diharapkan adalah mengundang kembali para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia (motif ini didasarkan asumsi peringkat Indonesia di Moody’s). Logika ini yang tampaknya mendasari obsesi dari pemerintah untuk memanfaatkan momentum Moody’s Investment Grade ini.
Obsesi investment grade ini akan menjadi problematika tersendiri bagi pemerintah. Artinya pada saat logika pertumbuhan ekonomi dipakai pemerintah dan dapat memenuhi obsesinya untuk mendapatkan investment grade, pemerintah memiliki dasar bahwa Indonesia layak bagi investor. Namun dari sisi realitas sosio-ekonomi, investor hanya akan memperoleh “kenyamanan semu” dalam berinvestasi di Indonesia. Suatu hal yang ironis jika mereka mendapatkan banyak “barrier” institusi dan regulasi pemerintah yang belum tertata dengan baik. Permasalahan kolusi dan korupsi juga akan rentan menghadang para investor. Belum lagi, para investor harus menghadapi banyak realitas sosial yang akan bertolak belakang dengan indikator pertumbuhan yang ada.
Pemerintah seharusnya tidak terlalu terobsesi dengan indikator pertumbuhan ekonomi dan bahkan investment grade. Pemerintah semestinya melihat beberapa bukti empiris (realitas sosial) yang dapat memperkuat asumsi bahwa telah terjadi kontradiksi antara obsesi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosio-ekonomi di Indonesia. Indonesia diantara negara-negara dunia memiliki level menengah (medium Human Development) dalam pembangunan sumber daya manusia. Posisi Indonesia di peringkat 111 dengan angka Human Development Index (HDI) 0.734 pada tahun 2007 (UNDP 2009). Hal krusial yang perlu diperhatikan adalah nilai rangking GDP per kapita Indonesia minus rangking HDI-nya menunjukan nilai + 10. Angka tersebut menunjukkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia berjalan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya terdapat hubungan struktural antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia di Indonesia. Padahal jika melihat realita sosio-ekonomi yang ada akan sangat berbeda dengan logika interpretasi data yang ada, misal belum tercapainya target MDG’s bidang kesehatan dan pendidikan. Berdasarkan data ADB 2009, Indonesia mengalami peningkatan kematian ibu melahirkan 307/ 100.000 kelahiran hidup ke angka kematian ibu melahirkan 420/100.000 kelahiran hidup. Dengan kata lain telah terjadi disfungsi struktural antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia di Indonesia secara realita.
Permasalahan disfungsi struktural antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia di Indonesia juga terjadi pada indikator tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang asing (trust to another nationality). Berdasarkan data World Values Survey (WVS) 2009, masyarakat di Indonesia memiliki tingkat kepercayaan terhadap orang asing 13.8% dan nilai ini termasuk rendah jika dibandingkan dengan sesama negara ASEAN, seperti Thailand (24,90 %) dan Vietnam (18,90 %). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat investment grade yang tinggi akan berhadapan dengan realitas bahwa masyarakat Indonesia masih relatif berhati-hati dengan “orang asing”, di sisi lain investor asing akan masuk dengan asumsi investment grade yang tinggi (kondusif bagi investasi). Hal ini membuktikan lagi sebuah kontradiksi dan sekaligus merupakan contoh realita disfungsi structural di Indonesia.
Simpulan Sebuah Catatan
Obsesi pemerintah untuk mendapatkan investment grade (versi Moody’s) yang tinggi memang layak untuk diapresiasi dan potensial memacu pertumbuhan ekonomi. Namun pemerintah perlu juga memperhatikan asumsi yang mendasari obsesi tersebut. Pemerintah hendaknya perlu melihat realitas sosio-ekonomi, seperti pembangunan sumber daya manusia (kesehatan dan pendidikan) serta memperhatikan juga fenomena tingkat kepercayaan masyarakat (terutama terhadap orang asing). Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan indikator GDP, APBN dan infrastruktur fisik akan mengalami disfungsi struktural dengan realitas pembangunan manusia atau dengan kata lain telah terjadi kontradiksi struktural antara pertumbuhan ekonomi (melalui GDP dan investasi) dengan pembangunan manusia yang berbasis pada realita.
*)Staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Peneliti di Baros Social Reform Institute (BSRI)
Salah satu deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Thursday, November 5, 2009
Bahasa Tubuh Sang Pejabat Negara dalam Perspektif Dialektika
Sebuah pangkal diskusi yang sepertinya kurang menarik untuk dibahas. Pembahasan tentang “bahasa tubuh” dalam konteks formal memang akan terasa membosankan. Kebosanan yang muncul karena pembahasan dilakukan tanpa pendekatan dialektika. Namun jika kita membahas “bahasa tubuh” dalam pendekatan dialektika, maka probabilitas ketertarikan dalam membahas bahasa tubuh bisa jadi meningkat. Apalagi dalam membahas dan menganalisa bahasa tubuh para pejabat negara.
Bahasa tubuh (body language) dapat diartikan sebagai gerakan atau sikap tubuh manusia yang berperan sebagai sinyal untuk menyampaikan pesan secara implisit. Sinyal pesan yang muncul dari orang yang melakukan “bahasa tubuh” dapat memiliki bermacam tingkat interpretasi. Interpretasi yang muncul dari penerima pesan dapat dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya kondisi/situasi yang terjadi antara penerima dan pengirim pesan; strata sosial dari penerima dan pengirim pesan; tingkat pendidikan atau profesi antara pengirim dan penerima pesan; konsensus antara penerima dan pengirim pesan dan beberapa faktor lain. Interpretasi yang bervariasi menjadi hal yang jamak jika melihat dari banyaknya faktor yang mempengaruhi penerima pesan. Variasi ini juga akan menjadi bias manakala pesan yang disampaikan melalui bahasa tubuh diterima dengan interpretasi berbeda dengan maksud pengirim pesan. Hal lain yang dapat terjadi ketika pengirim pesan melakukan bahasa tubuh untuk mengirim pesan yang hanya dapat diinterpretasikan secara benar (sesuai dengan maskud si pengirim) oleh beberapa orang saja. Artinya si pengirim pesan dengan sengaja melakukan “pembiasan” sehingga pesan tersebut hanya dapat diterima dengan “benar” (sesuai maksud awal pengirim pesan) hanya oleh segelintir orang saja. Segelintir orang ini dapat mengerti maksud dari si pengirim pesan karena sudah ada konsensus tentang makna “bahasa tubuh” yang akan disampaikan diantara mereka.
Di sisi lain, sedikit membahas tentang dialektika, dapat dijelaskan dalam 2 pola (lihat Encyclopedia Political Economy, Routledge, 2001), yaitu dialektika terjadi jika ada perkembangan dari suatu konsep (konsep kedua) yang berlawanan dengan konsep yang sudah ada (konsep pertama), dan ternyata konsep kedua disangkal/dipatahkan oleh konsep 1. Pola kedua, jika perkembangan dari suatu konsep (konsep kedua) dapat melengkapi atau bahkan “mematahkan” konsep pertama yang sudah ada (dengan catatan dua konsep tersebut memiliki hubungan dan berada dalam ranah/konteks yang sama).
Konsep dialektika ini dapat digunakan sebagai metode dalam melihat interpretasi bahasa tubuh dengan penjelasan jika bahasa tubuh dilakukan dengan baik oleh pengirim pesan dan dapat diterima dengan “benar” oleh penerima pesan, diasumsikan sebagai konsep pertama. Keadaan sebaliknya terjadi ketika maksud pesan dari pengirim pesan tidak dapat diterima dengan “benar” oleh penerima pesan akibat interpretasi yang bias. Di dalam proses ini telah terjadi dialektika, manakala konsep pertama bahwa bahasa tubuh dapat mengirim pesan dengan benar “berlawanan” dengan keadaan sebaliknya. Dialektika yang lain dapat terjadi, manakala si pengirim pesan dengan sengaja “melakukan pembiasan” dengan menciptakan bahasa tubuh yang hanya diketahui oleh segelintir orang (akibatnya bias bagi orang kebanyakan/sebagian besar). Hal ini juga merupakan dialektika dari konsep pertama karena konsep kedua yang juga “konsep pembiasan” bahasa tubuh ini merupakan bagian dari pengembangan konsep pertama itu sendiri.
Proses pembiasan ini sepertinya sering kali terjadi dalam ranah politik. Asumsi atau hipotesis ini mungkin terlalu ekstreem tapi akan menjadi logis jika dilihat dari penjelasan dialektika bahasa tubuh di atas. Seorang politisi atau bahkan pejabat negara sering berlebihan dalam menggunakan “bahasa tubuh”, jika diperhatikan dengan seksama ada beberapa variasi dari perilaku mereka. Ada yang menggunakan bahasa tubuh lebih dominan karena kemampuan verbalnya kurang memadai. Ada pula yang menggunakan bahasa tubuh untuk melengkapi performanya ketika berbicara atau berpidato. Khususnya untuk bahasa tubuh yang digunakan dalam berpidato, banyak sekali fenomena dialektika konsep bahasa tubuh yang terjadi. Seorang pejabat negara ada yang sering berpidato dengan bahasa tubuh yang menarik untuk dicermati, misal: penulis mengamati sang pejabat berkata “ kasus korupsi hendaknya dapat diselesaikan dengan tuntas dan dapat dijelaskan kronologisnya kepada masyarakat secara gamblang…”; yang menarik pada saat dia berkata “gamblang” (dalam kamus bahasa Indonesia berarti “jelas atau mudah dimengerti), ternyata kata “gamblang” diucapkan bersamaan dengan bahasa tubuh berupa “ibu jari dan jari telunjuk digerakkan mendekat” atau dapat diartikan dipersempit. Berarti makna “gamblang” yang diucapkan melalui mulutnya berbeda makna denga bahasa tubuh yang dilakukannya. Dalam kasus ini yang harus dicermati adalah memang sang pejabat tidak sengaja melakukan itu; atau dia memang sengaja melakukan itu untuk melakukan “pembiasan” pesan melalui bahasa tubuh dan “lebih mengerikan” lagi jika pesan tersebut ternyata memang khusus hanya dimengerti oleh sekelompok orang. Bayangkan jika hal tersebut dilakukan oleh pejabat negara yang dengan lantang mengatakan akan memberantas korupsi tetapi bahasa tubuhnya menyiratkan sebaliknya dan hal itu diinterpretasikan oleh “anak buahnya”, hal ini akan menjadi kontraproduktif.
Namun hal ini hanya merupakan diskusi “pinggiran” yang mencoba melihat suatu fenomena dengan kritis dari suatu perspektif. Kebenaran di dunia hanya bersifat relatif, semua akan terjawab dengan kebenaran hakiki dari Yang Maha Kuasa.
Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro sebagai Catatan Pinggir IV
Baros Social Reform Institute (BSRI)
Bahasa tubuh (body language) dapat diartikan sebagai gerakan atau sikap tubuh manusia yang berperan sebagai sinyal untuk menyampaikan pesan secara implisit. Sinyal pesan yang muncul dari orang yang melakukan “bahasa tubuh” dapat memiliki bermacam tingkat interpretasi. Interpretasi yang muncul dari penerima pesan dapat dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya kondisi/situasi yang terjadi antara penerima dan pengirim pesan; strata sosial dari penerima dan pengirim pesan; tingkat pendidikan atau profesi antara pengirim dan penerima pesan; konsensus antara penerima dan pengirim pesan dan beberapa faktor lain. Interpretasi yang bervariasi menjadi hal yang jamak jika melihat dari banyaknya faktor yang mempengaruhi penerima pesan. Variasi ini juga akan menjadi bias manakala pesan yang disampaikan melalui bahasa tubuh diterima dengan interpretasi berbeda dengan maksud pengirim pesan. Hal lain yang dapat terjadi ketika pengirim pesan melakukan bahasa tubuh untuk mengirim pesan yang hanya dapat diinterpretasikan secara benar (sesuai dengan maskud si pengirim) oleh beberapa orang saja. Artinya si pengirim pesan dengan sengaja melakukan “pembiasan” sehingga pesan tersebut hanya dapat diterima dengan “benar” (sesuai maksud awal pengirim pesan) hanya oleh segelintir orang saja. Segelintir orang ini dapat mengerti maksud dari si pengirim pesan karena sudah ada konsensus tentang makna “bahasa tubuh” yang akan disampaikan diantara mereka.
Di sisi lain, sedikit membahas tentang dialektika, dapat dijelaskan dalam 2 pola (lihat Encyclopedia Political Economy, Routledge, 2001), yaitu dialektika terjadi jika ada perkembangan dari suatu konsep (konsep kedua) yang berlawanan dengan konsep yang sudah ada (konsep pertama), dan ternyata konsep kedua disangkal/dipatahkan oleh konsep 1. Pola kedua, jika perkembangan dari suatu konsep (konsep kedua) dapat melengkapi atau bahkan “mematahkan” konsep pertama yang sudah ada (dengan catatan dua konsep tersebut memiliki hubungan dan berada dalam ranah/konteks yang sama).
Konsep dialektika ini dapat digunakan sebagai metode dalam melihat interpretasi bahasa tubuh dengan penjelasan jika bahasa tubuh dilakukan dengan baik oleh pengirim pesan dan dapat diterima dengan “benar” oleh penerima pesan, diasumsikan sebagai konsep pertama. Keadaan sebaliknya terjadi ketika maksud pesan dari pengirim pesan tidak dapat diterima dengan “benar” oleh penerima pesan akibat interpretasi yang bias. Di dalam proses ini telah terjadi dialektika, manakala konsep pertama bahwa bahasa tubuh dapat mengirim pesan dengan benar “berlawanan” dengan keadaan sebaliknya. Dialektika yang lain dapat terjadi, manakala si pengirim pesan dengan sengaja “melakukan pembiasan” dengan menciptakan bahasa tubuh yang hanya diketahui oleh segelintir orang (akibatnya bias bagi orang kebanyakan/sebagian besar). Hal ini juga merupakan dialektika dari konsep pertama karena konsep kedua yang juga “konsep pembiasan” bahasa tubuh ini merupakan bagian dari pengembangan konsep pertama itu sendiri.
Proses pembiasan ini sepertinya sering kali terjadi dalam ranah politik. Asumsi atau hipotesis ini mungkin terlalu ekstreem tapi akan menjadi logis jika dilihat dari penjelasan dialektika bahasa tubuh di atas. Seorang politisi atau bahkan pejabat negara sering berlebihan dalam menggunakan “bahasa tubuh”, jika diperhatikan dengan seksama ada beberapa variasi dari perilaku mereka. Ada yang menggunakan bahasa tubuh lebih dominan karena kemampuan verbalnya kurang memadai. Ada pula yang menggunakan bahasa tubuh untuk melengkapi performanya ketika berbicara atau berpidato. Khususnya untuk bahasa tubuh yang digunakan dalam berpidato, banyak sekali fenomena dialektika konsep bahasa tubuh yang terjadi. Seorang pejabat negara ada yang sering berpidato dengan bahasa tubuh yang menarik untuk dicermati, misal: penulis mengamati sang pejabat berkata “ kasus korupsi hendaknya dapat diselesaikan dengan tuntas dan dapat dijelaskan kronologisnya kepada masyarakat secara gamblang…”; yang menarik pada saat dia berkata “gamblang” (dalam kamus bahasa Indonesia berarti “jelas atau mudah dimengerti), ternyata kata “gamblang” diucapkan bersamaan dengan bahasa tubuh berupa “ibu jari dan jari telunjuk digerakkan mendekat” atau dapat diartikan dipersempit. Berarti makna “gamblang” yang diucapkan melalui mulutnya berbeda makna denga bahasa tubuh yang dilakukannya. Dalam kasus ini yang harus dicermati adalah memang sang pejabat tidak sengaja melakukan itu; atau dia memang sengaja melakukan itu untuk melakukan “pembiasan” pesan melalui bahasa tubuh dan “lebih mengerikan” lagi jika pesan tersebut ternyata memang khusus hanya dimengerti oleh sekelompok orang. Bayangkan jika hal tersebut dilakukan oleh pejabat negara yang dengan lantang mengatakan akan memberantas korupsi tetapi bahasa tubuhnya menyiratkan sebaliknya dan hal itu diinterpretasikan oleh “anak buahnya”, hal ini akan menjadi kontraproduktif.
Namun hal ini hanya merupakan diskusi “pinggiran” yang mencoba melihat suatu fenomena dengan kritis dari suatu perspektif. Kebenaran di dunia hanya bersifat relatif, semua akan terjawab dengan kebenaran hakiki dari Yang Maha Kuasa.
Ditulis oleh Bhimo Rizky Samudro sebagai Catatan Pinggir IV
Baros Social Reform Institute (BSRI)
Subscribe to:
Posts (Atom)